Di Madura, saya bercakap-cakap
dengan adik kelas yang kuliah akuntansi di UTM. Ada dua orang, Febri dan Rizki.
Mereka menceritakan dosen yang paling mengesankan bagi mereka. Mereka kompak
membahas tentang Pak Redy. Dosen yang eksentrik begitu simpulan saya.
Karena saya orang luar kampus
UTM, saya penasaran dengan Pak Redy. Saya mencoba mencari nama lengkapnya di
web jurusan, lalu mencari fb nya. Lha dilalah, kok langsung bertemu dengan akun
facebooknya. Yang lebih mengejutkan ternyata beliau berteman dengan Gus Fatkur,
guru ngajiku di ma’had Fatawiyah Sumberagung, Tulung, Saradan Madiun. Mereka sama-sama
mengambil studi di Universitas Brawijaya Malang.
Betapa sempit dunia ini. Kami(aku
dan teman-teman UTM) menyambung silaturahmi kepada teman guru kami, sedangkan
Pak Redy mengenalku sebagai kakak kelas yang sambang adiknya ke Madura.
Kurang eksentrik bagaimana? Pak
Redy sebagai dosen memiliki rambut panjang sebahu, terkadang ke kampus dengan
menggunakan udeng/blankon dan mengenakan sarung. Febri tatkala mengambil mata
kuliah sosiologi kritis, disuruh untuk mendatangi kota yang belum dikunjungi,
tanpa identitas apapun dari UTM, disana mahasiswanya harus bisa mengamati
kehidupan warga dan bisa bersosialisasi dengan warga.
Bagiku itu tugas yang menantang
dan menyenangkan menghadapi tantangan yang kita tidak tahu akan seperti apa
jadinya. Ada yang mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat, ada yang
diusir dari kampung karena dicurigai akan mengganggu ketenteraman dan banyak
cerita. Yang pasti mahasiswanya jadi kaya pengalaman.
Pak Redy memberikan waktu longgar
hari Selasa malam tanggal 23 Mei 2017. Saya ijin kesana malam hari, rumahnya di
perumahan yang dekat dengan kampus. Teman-teman oke-oke aja aku ajak kesana.
Akhirnya yang kesana, aku, Febri,
Sholikin dan Rizki. Teman-teman yang lain masih banyak agenda. Disana pak Redy
menceritakan kenapa beliau kadang ke kampus memakai sarung? Karena sarung
adalah budaya bangsa. Kenapa pakai udeng? Sebagai penutup kepala yang khas
Indonesia. Kenapa berambut gondrong? Karena banyak riwayat yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad rambutnya juga sebahu.
Intinya, setiap apapun yang kita lakukan,
harus didasarkan pada nilai yang luhur. Apapun itu. Bagiku, walaupun secara
penampilan bapaknya eksentrik luar biasa untuk profesi dosen, namun beliau
adalah role model yang bagus untuk pendidikan karakter.
Beliau sering bilang bahwa beliau
murtad dari akuntansi, murtad dalam artian beliau tidak ingin dibatasi oleh
sekat-sekat angka yang statis dan membosankan.
Beliau menyukai ilmu-ilmu yang dinamis, di rak-rak bukunya, sangat banyak buku
sosial. Aku saja yang mahasiswa sosiologi belum punya bukunya Clifford Geertz,
beliau malah memilikinya.
Program penelitian beliau adalah
membuat buku kumpulan penelitian dengan tema akuntansi garam, pendekatan
akuntansi dan ilmu sosial untuk melihat fenomena yang terjadi di daerah lokal
Madura dan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang diteliti.
Hal yang diinginkan adalah
melihat seperti apa metode bertahan petani garam terhadap tengkulak, harga yang
tidak pasti, cuaca yang tidak pasti, pengeluaran cost production dan sebagainya
yang bisa dikaji dengan penelitian wawancara mendalam dan field note tentunya.
Beliau menuturkan pasti mereka
tidak membuat pembukuan yang berupa debit kredit, buku besar, buku kas harian
dan sebagainya. Kalau ada pasti minim, namun semua perencanaan keuangan mereka
simpan di otak, dan mereka ingin melihat kearifan lokal tersebut sebagai suatu
kajian ilmiah. Menarik dan membumi ya?
Aku jadi sadar dengan skripsiku
yang sudah ujian, penelitian kuantitatif yang berupa angka-angka, dengan
harapan bisa lulus tepat waktu, tanpa ada kedalaman terhadap subjek yang
kuteliti. Sampai sini aku kadang merasa kerdil dibandingkan dengan teman-teman
akuntansi UTM yang bersemangat membuat skripsi dengan pendekatan kualitatif.
Namun, dari pertemuan dengan Pak
Redy aku jadi lebih semangat dalam menuntut ilmu. Melawan rasa malas dan apatis
sehingga bisa lebih memikirkan tiap hal yang aku lakukan tiap hari-harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar