Menelisik
Ajaran dan Toleransi terhadap Aliran Kebatinan Ilmu Sejati Desa Sukorejo
Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun
Oleh
: Nuryanti (K8413057)
Mahasiswa
Sosiologi Antropologi FKIP UNS Surakarta
Saradan
dalam Sudut Kepercayaan
Kecamatan
Saradan adalah kecamatan di bawah administrasi Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Data statistik agama yang dianut oleh masyarakat Kecamatan Saradan pada tahun
2013 adalah sebanyak 67.601 penduduk beragama Islam, 428 penduduk meyakini
jalan Kristen Protestan, 330 penduduk beragama Katolik dan 7 orang berkeyakinan
pada Hindu. (disarikan dari BPS, 2014). Namun, pada prakteknya masih ada agama
lokal yang masih dijalankan. Agama lokal tidak dicantumkan dalam identitas diri
karena dalam kebijakannya, Pemerintah Indonesia terminologi agama yang secara
ilmiah maupun dalam pengertian bahasa semestinya digunakan untuk menyebut semua
bentuk religi, dirubah pengertiannya secara politis, yaitu hanya untuk menyebut
agama-agama besar (world religion) yang ada di Indonesia. (Soehadha, 2014:13).
Ada beberapa
aliran kebatinan yang dianut oleh masyarakat Saradan. Diantaranya adalah ajaran
Samin Surosentiko yang banyak dianut oleh masyarakat Desa Pajaran dan Desa
Sumberbendo yang berbatasan langsung dengan daerah Bojonegoro. Hal ini
mengingat daerah kedua desa yang masih banyak hutan dan agak terpencil
dibanding desa lainnya. Ada pula masyarakat yang mengikuti aliran kebatinan
Ilmu Sejati. Perguruan Ilmu Sejati berpusat di Desa Sukorejo Kecamatan Saradan
Kabupaten Madiun. Letak Perguruan Ilmu Sejati sangat strategis, karena terletak
di jalan alternatif Madiun Surabaya. Selain itu Perguruan Ilmu Sejati menempati
tempat yang lumayan luas, seperti halnya pendopo keraton ataupun pendopo balai
desa. Tentu saja luasnya tempat Perguruan ini juga digunakan untuk pendidikan
dan penanaman moral kebatinan bagi masyarakat penganutnya.
Mengenai Ajaran
Ilmu Sejati, penganutnya sudah menyebar ke seluruh Pulau Jawa. Tidak terbatas
pada masyarakat Saradan saja. Bahkan, Perguruan Ilmu Sejati juga mempunyai
perguruan cabang yang terletak di Desa Ketanon, Wajak, Ngujang dan Ngantru di
Tulungagung. Para Penganut yang tersebar masih mengamalkan ajarannya dan selalu
berziarah dan meramaikan saat perguruan ini merayakan Hari Ulang Tahun setiap
10 November tiap tahunnya. Pada saat ulang tahun diselenggarakan kegiatan pesta
yang sangat meriah dengan pementasan wayang kulit sebagai acara utama.
Sejarah
Ajaran Ilmu Sejati di Desa Sukorejo
Ajaran
Perguruan Ilmu Sejati merupakan hasil pemikiran dari Raden Soedjono
Prawisoedarso yang dituangkan ke dalam rumusan konsep perilaku manusia yang
didasarkan ada lagir dan batin, di mana lahir ditujukan untuk negara (membela
negara), sedangkan batin ditujukan ada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep pemikiran
Ilmu Sejati diambil dari intisari ajaran agama-agama resmi, namun dalam
prakteknya ajaran-ajaran itu disamarkan ke dalam pemahaaman masyarakat Jawa
yang bertujuan memudahkan para penganutnya untuk selalu dekat dan bersatu
dengan Tuhan.
Dalam
bidang pendidikan, Perguruan Ilmu Sejati muncul sebagai suatu budaya spiritual
yang di dalamnya terdapat sari ajaran agama-agama pemerintah sehingga
menjadikan ajaran Ilmu Sejati dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Jawa
dan seluruh umat beragama. Hal ini terbukti dengan adanya latar belakang daru
penghayat ajaran Ilmu Sejati yang berasal dari agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan Budha. Dalam ajaran perguruan Ilm Sejati pengaruh Islam sangat kuat
dengan munculnya kalimat syahadat dikombinasikan dengan kalimat Jawa.
Dalam
perspektif anak-anak yang orang tuanya bukan penghayat, orang tua
menginternalisasikan bahwa ajaran Ilmu Sejati adalah ajaran kebatinan supaya
bertingkah laku yang baik dan sesuai dengan aturan norma yang digariskan oleh
Pemerintah dan lingkungan tempat mereka tinggal. Namun, yang disayangkan oleh
orang tua adalah para penghayat itu tidak menjalankan ajaran syariat agama yang
mereka anut. Misalnya, orang yang beragama Islam, ikut Ilmu Sejati mereka malah
meninggalkan sholat yang merupakan tanda Islam santri. Dan bagi orang Kristen,
mereka jarang pergi ke gereja untuk beribadah.
Masyarakat
di daerah Saradan, bisa dilihat dari data statistik BPS mayoritas beragama
Islam. Namun, dalam kehidupan sehari-hari belum menjalankan syariat harian
seperti sholat 5 waktu. Hal inilah yang dalam tesis Clifford Geertz salah satu
ciri sebagai Islam Abangan. Bagi mereka tidak ada bedanya mereka yang bukan
penghayat Ilmu Sejati dengan penghayat. Namun, masyarakat jarang yang
berkeinginan untuk menjadi penghayat.
Ajaran
Perguruan Ilmu Sejati
Ada tiga ajaran
penting yang tertulis dalam surat penget Ilmu Sejati, yakni ajaran
mengenai Tuhan, ajaran tentang manusia dan ajaran tentang moral. Tuhan dalam
Ilmu Sejati merupakan sumber segala sesuatu, yang merupakan asal sangkan paraning
dumadi. Seperti halnya dalam ajaran kebatinan yang lain, dalam Ilmu Sejati
ingin mencapai suatu kesempurnaan tekad yang diistilahkan dengan kaji yaitu
Jumbuhing Kawula Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) . Manusia
disuruh berusaha mencari keberadaan Tuhan dalam diri manusia. Tujuan Ilmu
Sejati adalah sama dengan agama lain dan anggapan ini disebabkan karena Gusti
Alloh (Tuhan) adalah suci, tidak berkehendak, tidak berwujud, tidak bisa
dilihat kecuali dengan mata batin
Dalam Perguruan Ilmu Sejati proses manusia
kembali kepada sangkan paraning dumadi yaitu jumbuhing kawula Gusti yang
di istilahkan denga Kaji merupakan suatu keharusan karena itu merupakan
suatu kesempurnaan tekad seperti tuntutan dalam Penget di atas. Pada
akhirnya yang harus dipahami bahwa di dunia ini yang ada hanya kawula dan
Gusti, sehingga setelah semua kwajiban sudah dipenuhi maka akhirnya
manusia itu akan manunggal (menjadi satu) dengan Gusti (Tuhan). Manusia
harus beralih dengan kedudukan abdi “kawula” untuk mencapai kesatuan dengan
Gusti yang lazim diistilahkan dengan manunggaling kawula Gusti . Untuk
mencapai tingkat Kaji yaitu kesempurnaan, para murid Ilmu Sejati harus
mensucikan dirinya dengan disertai mengamalkan Penget yang berisi ajaran
budi pekerti luhur dan tidak meninggalkan kwajiban untukmelakukan sahadad
sejati dan salat sejati. Yang terpenting dalam salat dan sahadad
adalah masalah batin baik pelaksanaan maupun sikapnya.
Kebatinan
sebagai aliran kepercayaan yang di dalamnya membicarakan masalah ke-Tuhanan,
Nampak pada suatu upaya penafsiran batin sebagai akar kata kebatinan.
Pada kenyataannya setiap aliran kebatinan memiliki ajaran tentang ke-Tuhanan,
meskipun banyak diantaranya hanya memberi gambaran tentang ini secara tidak
mendalam. Dalam ajaran Perguruan Ilmu Sejati sendiri misalnya, dikatakan bahwa
batin adalah merupakan salah satu dari nama Allah yang disebut dengan nama Gusti
Allah atau Gusti Kang Moho Kuoso.
Larangan bagi
pengikut Ilmu Sejati berkaitan dengan ke-Tuhanan adalah larangan untuk
menyekutukan Tuhan. Hal ini telah disebutkan dalam surat Penget nomor 8 yaitu :
saksaget-saget anyegaho dating lampah utawi kelakuan dateng pangiwo. Memundi
kayuwatu sarto miturut dateng gugon Tuhan sesaminipun, hinggih puniko nyakutu
Allah, tegesipun nyepele dateng kuasane Pangeran. Maksudnya : Sebisa
mungkin mencegah perbuatan yang menyimpang, menyembah pada benda-benda sepertu
batu dan kayu serta menurut saja perkataan orang lain, yaitu menyukutukan
Allah, dalam arti menghina atau menyepelekan kekasaan yang Maha Kuasa.
Manusia menurut Ilmu Sejati harus bisa
mengendalikan diri sendiri, harus sabar, tawakal, rela dan nrimo.
Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada
waktunya nasib yang baik pun akan tiba. Nrimo berarti menerima segala
apa yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrimo termasuk
sikap Jawa yang paling dikritik, karena disalahpahami sebagai kesediaan untuk
menelan segala-galanya secara apatis. Nrimo berarti bahwa orang dalam
keadaan kecawa dan dalam kesulitanpun bereaksi dengan rasional. Rela atau
ikhlas berarti “bersedia”.
Meskipun dalam
ajaran Ilmu Sejati menggunakan istilah agama Islam, namun artinya sangat
berbeda. Salat dalam Ilmu Sejati adalah dalam batin, bertujuan untuk
mengetahui kedudukan manusia baik di alam semesta dan manusia dengan Tuhan.
Gerakan lahiriah tidak diutamakan, dan juga tidak harus menghadap pada satu
arah tertentu. Dalam hal puasa juga berbeda. Istilahnya adalah puwoso pelaksanaan
puasa ini menurut keinginan hati dan tidak ditentukan waktunya menurut
peraturan. Bagi orang Islam boleh melaksanakan puasa secara Islam atau juga
puasa cara Ilmu Sejati. Seorang wakil mirid melaksankan puasa yang
disebut puasa batin, yaitu bukan mencegah makan dan minum, tetapi juga mencegah
semua perilaku dan keinginan
Dengan demikian kebatinan seperti halnya Ilmu
Sejati ini dapat digolongkan sebagai monotheisme, sebagaimana gambaran Tuhan
pada agama-agama besar seperti Islam dan Kristen. Namun di sisi lain, Tuhan itu
dianggap hanya sebagai “ide” yang berada jauh diseberang ciptaan-Nya, bahkan
lepas dari segala hubungan. Ia dipandang sebagai yang mutlak dalam arti
metafisis, yang diungkapkan dengan : tan kena kinaya apa, tan kena winirasa yaitu
yang tidak dapat direka-rekakan oleh pikiran manusia. “Laku” dalam Ilmu
Sejati adalah menuntun murid agar berlaku andhap ashor, budi pekerti
yang baik serta harus percaya diri dalam menghadapi apa saja. Untuk itu yang
diperlukan adalah melatih diri dengan sabar. Tujuan latihan adalah berusaha
mengalami secara intuitif kehadirat Tuhan. Caranya harus melalui ketenangan batin
dan mempertajam “rasa”.
Ajaran dalam
Ilmu Sejati dikatakan bukanlah klenik atau mistik tetapi suatu budaya
spiritual untuk mencapai budi pekerti yang luhur. Namun dalam hal ini di antara
dorongan atau motivasi seorang murid untuk masuk sebagai warga perguruan Ilmu
Sejati tidak lepas dari hal-hal yang bernuansa mistik. Misalnya seseorang yang
ingin mendapatkan perhatian dari orang lain untuk diberi belas kasihan, maka
meminta wirid agar tercapai tujuan tersebut. Dalam Ilmu Sejati hal yang
demikian ini disebut dengan “gaib”.
Pengikut ajaran Ilmu Sejati harus menjadi
warga Negara yang taat pada Undang-undang Dasar dan Pancasila. Mereka harus
terlibat aktif dalam menjaga ketentraman umum. Perguruan Ilmu sejati mempunyai
sifat kekluargaan dengan mengedepankan terwujudnya ketentraman dan keamanan
dalam kehidupan rumah tangga. Ketentraman dalam rumah tangga inilah yang
merupakan pilar untuk menegakkan perdamaian bangsa dan Negara. Jika ketentraman
dalam rumah tangga tercipta dan mampu dijadikan landasan dalam kehidupan
berbangsa, maka hak-hak individu dan kebebasan manusia dapat terpenuhi.
Kekeluargaan dan
perikemanusiaan di atas harus tumbuh dan berkembang di seluruh lapisan
masyarakat secara merata. Tanggung jawab itu dipikul bersama secara
gotong-royong untuk mencapai keadaan dan kesejahteraan lahir dan batin. Untuk
itu dibutuhkan kesadaran kolektif bagi semua anggota pengikut aliran kebatinan
untuk berbuat baik kepada sesama.
Tujuan mendasar
yang ingin dicapai perguruan Ilmu sejati ini adalah terwujudnya ketentraman
umum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam wujud Tuhan Yang Maha
Esa. Tujuan ini merupakan puncak dari segala perbuatan manusia yang melakukan
darma bakti sebagai insan yang mengabdikan diri dalam kewajibannya untuk
menyatukan hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa setiap
pengikut ajaran perguruan Ilmu Sejati harus mampu memandang dan memperlakukan
orang lain seperti mereka memandang dan memperlakukan diri sendiri. Melakukan
perbuatan apapun harus didasari welas asih kepada makhluk ciptaan Tuhan.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, perguruan Ilmu sejati melakukan upaya-upaya terencana yang
diarahkan bagi pengikutnya. Pertama yaitu mendidik dan memberi
penerangan pada penganutnya tentang sejarah diri (sejatining manungso)
yang merupakan pokok kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kemampuan diri
yang bersumber dari-Nya. Kepercayaan ini berimplikasi pada kesadaran manusia
untuk berani membela kebenaran dan keadilan dengan menjauhi segala
perselisihan. Mengenal sejarah diri artinya menghormati para pendahulunya
dengan prinsip Ketuhanan.
Kedua yaitu membangun manusia yang berbudaya yang
berkepribadian Jawa dengan semangat gotong royong. Manusia berbudaya ini
digambarkan melalui masyarakat yang mandiri dengan mempertahankan budaya-budaya
lokal dan dikontekstualisasi sesuai dengan dinamika kehidupan, sehingga tetap
tertanam sikap cinta tanah air.
Ketiga yaitu
berupaya agar hak-hak dan kebebasan masyarakat Indonesia dapat terwujud. Hak
asasi dan kebebasan merupakan faktor penentu bagi terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur. Tidak ada keadilan dan kesejahteraan jika hak dan kebebasan
warga dikekang.
Meskipun tidak ada kurikulum tertulis untuk
melakukan segala aktivitas pendidikan, tetapi proses penanaman moral harus
berlangsung. Makna pendidikan ajaran perguruan Ilmu sejati adalah pentingnya
pendidikan moral bagi semua pengikutnya. Pendidikan moral ini ditanamkan sejak
lahir. Anak-anak sudah dikenalkan dengan nilai-nilai baik dan buruk secara terus
menerus. Proses penyampaian ajaran moral ini sebagai pembawaan sosio kultural,
yakni penerusan pengetahuan tentang moral yang disampaikan lewat bahasa dari
generasi ke generasi. Misalnya lewat buku-buku, adat istiadat, sopan santun,
tata upacara keagamaan, dan sebagainya.
Adat istiadat
merupakan tata kelakuan yang kuat dan kekal integrasinya dengan perilaku.
Melalui adat istiadat masyarakat setempat inilah pendidikan moral ajaran aliran
kebatinan diresapi dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai
bentuk dan rupa. Dengan adanya hukum-hukum di atas, maka manusia akan berusaha
mengendalikan dirinya untuk berbuat baik dan manuju kesempurnaan. Dengan hidup
yang berkarakter, maka manusia akan siap menghadapi perubahan dan perkembangan
zaman.
Perspektif
Antropologi melihat fenomena Ilmu Sejati
Manusia
mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia
memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. (Suriasumantri, 2005: 40). Manusia
dalam mengembangkan pengetahuannya tentu memiliki tujuan, begitupun dengan
ajaran Ilmu Sejati. Tujuannya adalah untuk meraih kesejatian hidup, pemaknaan
yang lebih mendalam tentang alam semesta, tingkah laku moral dan hubungan yang
baik dengan Sang Pencipta. Dalam kuliah tamu Antropologi Religi yang
disampaikan oleh Romo Dr. Bismoko Mahamboro pada Senin, 14 Desember 2015 Agama adalah sebagai sistem moral dan
pengatur sosial. Moralitas adalah hal yang penting demi keselarasan hidup
manusia. Dimana komponen sistem moral itu adalah keyakinan, cara pandang dan
perilaku yang menjadi satu-kesatuan.
Meskipun
moralitas adalah hal yang penting, tidak serta merta masyarakat menerima dengan
tulus keberadaan Perguruan Ilmu Sejati. Penelitian Hernawati (2003) menyatakan
bahwa Perguruan Ilmu Sejati bukanlah organisasi politik, melainkan budaya
spiritual yang menuju kesucian dan ketentraman umum. Hasil Penelitian tersebut
belum bisa menghilangkan pemikiran negatif masyarakat terhadap kebenaran dari
Perguruan Ilmu Sejati. (dalam Purwanti, 2012).
Padahal, Lebih dari 500 suku bangsa di Indonesia merupakan pernyataan
yang jelas untuk menunjukkan keragaman budayanya yang mencakup budaya, agama,
ilmu pengetahuan, kekerabatan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik
yang dipraktikkan di tingkat lokal. Gerakan “Persatuan dan Kesatuan” yang
dijalankan selama ini bukan sekedar menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut
dalam suatu wadah yang memungkinkan kebersamaan tercapai; lebih dari itu telah
menjadi cerita buruk tentang pembatasan ekspresi budaya dalam berbagai bentuk.
(Abdullah, 2015: 64). Kebebasan berekspresi masyarakat dibatasi oleh prinsip
persatuan dan kesatuan yang menyeragamkan, mindset ini terbawa hingga ke
masyarakat awam yang membuat masyarakat mempunyai rasa curiga terhadap
kelompok-kelompok aliran kebatinan.
Namun, ada
kalanya masyarakat turut menikmati dan berperan serta dalam Perayaan HUT Ilmu
Sejati yang diadakan tiap tanggal 10 bulan 10 (Oktober. Setidaknya masyarakat
bisa menjadi pengunjung pasar malam ataupun menonton wayang sebagai puncak
acara. Pertunjukan wayang yang mengangkat lakon mengenai kehidupan Ilmu Sejati
dipentaskan dalam acara ini oleh dalang yang notabene adalah murid perguruan.
Wayang adalah simbol media untuk mensosialisasikan ajaran ilmu sejati. Clifford
Geertz memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membangun pandangan-pandangan
dunianya berdasarkan sistem simbol, dimana gambaran yang dibentuknya itu
sekaligus berfungsi sebagai teori bagaimana seseorang harus hidup di dalam
dunia tersebut. (Soehadha, 2014, 84).
Menarik apa yang
disampaikan oleh Geertz, lakon pewayangan menjadi simbolisasi dan sosialisasi
Ilmu Sejati ke luar komunitas mereka.
Dengan lakon yang disesuaikan yang mirip dan mewakili ajaran Ilmu Sejati,
masyarakat menjadi tahu apa yang sebenarnya menjadi ajaran di dalamnya.
Otomatis, perayaan Wayang kulit ini bisa menjadikan masyarakat lebih paham dan
tidak mempunyai kecenderungan yang berlebihan untuk curiga. Jadi meskipun sudah
90 tahun perguruan berdiri di tengah-tengah masyarakat Saradan, perguruan ini
jarang digrudug oleh massa maupun menjadi korban aksi kekerasan berbau SARA.
Hal ini karena masyarakat sadar dan tahu bahwa ajaran Ilmu Sejati adalah Ilmu
Utama untuk mencapai kesejatian hidup. Masyarakat menjadi aman dan harmonis
tanpa ada kecenderungan untuk saling melukai. Karena, aspek keharmonisan inilah yang membuat masyarakat pedesaan merasa dekat
dengan kelompok masyarakat sinkretis (Sutiyono, 2010:6). Apalagi,
pemerintah nampaknya mendukung kegiatan Ilmu Sejati dengan kehadiran mereka
dalam pergelaran wayang semalam suntuk. Masyarakat melihat ini adalah sinyal
baik untuk berdamai dan menjaga toleransi, mengingat masyarakat Madiun memiliki
kenangan pahit mengenai kekerasan yang menimbulkan banyak kerugian paska Madiun
Affairs 1948.
Daftar
Pustaka
Purwanti, Ida. 2012. Sejarah,
Konstruksi dan Sosialisasi Ajaran Perguruan “Ilmu Sejati” (Studi pada Perguruan
“Ilmu Sejati” di Desa Ketanon, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung).
Skripsi. Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Drs. Nur Hadi, M.Pd, M.Si.
Pembimbing (2) Waskito, S.Sos, M. Hum
Sutiyono. 2010. Benturan Budaya Islam Puritan dan Sinkretis. Jakarta. Penerbit Buku
Kompas
Abdullah, Irwan.
2015. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
BPS. 2014. Kecamatan Saradan dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Madiun
Lampiran Gambar
Soehadha, Moh.
2014. Fakta dan Tanda Agama: Suatu
Tinjauan Sosio-Antropologi. Jogjakarta: Diandra Pustaka Indonesia
Suriasumantri,
Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar