Maafkan
Aku
Oleh :
Nuryanti
Kabut masih menyelimuti. Rasa malas
menguar. Hawa dingin ini membuat orang enggan untuk keluar rumah. Orang-orang masih
ingin mengenakan jaket yang tebal dan melindungi dari dinginnya pagi hari. “ahh...
aku harus bangun pagi. Harus”, kata Yanti pada dirinya sendiri.
Dengan mengerjap-ngerjapkan mata
sipitnya dia bangun. Diapun melakukan ritual paginya dengan bergegas. Mengambil
air wudhu, sholat Shubuh, mandi dan berpakaian. Ia terbiasa santai. Bahkan dia
tidak bisa melakukan banyak hal secepat orang lain. saat kondisi kritis seperti
itulah, kelembutan dan kelemotannya menghambat aktivitasnya. Hari ini dia
terdesak oleh waktu.
Bahkan dia tidak makan sarapan. Dia merasa kalau dia sudah terlambat. Nasi pecel yang baru saja dibelikan langsung dimasukkan ke dalam tas ranselnya. “makan di sekolah aja bu, Yanti pamit ya. Assalamu’alaikum”, ia mencium tangan bapak dan ibunya.
Hari ini adalah hari yang penting. Tidak
hanya bagi Yanti seorang, tapi mungkin bagi sebagian pelajar Madrasah Aliyah di
lingkup Kabupaten ini. hari ini ada event olimpiade mata pelajaran untuk siswa
MA. Perhelatannya di MA Negeri di ujung selatan kabupaten ini. Masih jauh
sekali. Perjalanan 1 jam lebih untuk mencapainya. Taj heran kami disuruh kumpul
jam enam pagi untuk persiapan. Aku sudah memancal sepeda biru ini
kencang-kencang. Menerobos dinginnya pagi hari. Diiringi dengan sinar mentari
yang mulai menampakkan sinar wibawanya. “Wah, aku telat. Keringat membasahi
dahinya, ia tak peduli. The most important is i must reach my school as soon as
possible.
Sayang ini adalah dunia nyata. Bukan dunia
khayal. Dimana tidak ada sapu terbang Harry Potter, permadani terbang Aladin,
atau Jaring laba-laba Spiderman. ataupun kisah yang kuyakini nyatanya, peristiwa Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad
yang dalam waktu semalam bisa sampai ke Masjidil Aqso dan naik ke langit ke
tujuh.
Aku masih harus mengayuh sepeda biru
ini. mengayuhnya dengan kencang. Jika ingin segera sampai. Aku sepertinya tidak
boleh mengharapkan keajaiban. Hanya kerja keras dan doa keselamatan supaya bisa
sampai di sekolah dengan selamat.
Kenapa perjalanan ini jadi
sangat-sangat lama. Sebenarnya yang kutakutkan hanyalah satu. Bapak kepala
sekolahku akan murka kepadaku yang suka telat ini. Beliau selalu mentolerir
kesalahanku. Beliau adalah kepala sekolah yang bijaksana, dan kuyakin
menyayangi aku. beliau selalu masuk pagi, kadang sampai sekolah lebih awal
daripada siswa-siswanya. Teladan yang harus dicontoh. Beliau selalu memaafkan
jika aku telat. Tidak seperti guru-guru lain yang pasti menghukumku karena ya
kuakui aku memang salah.
masihkah beliau mentolerir? Sedangkan ini
bukan untuk sekolah biasa? Ini untuk lomba, yang jauh sekali tempat
pelaksanaannya?
Ada sms masuk dari adik kelas. Segera kurogoh
saku bajuku, dengan sedikit mengurangi kecepatan sepeda. “teman-teman cepat
berangkat. Bapak kepala madrasah udah jengkel ini nungguin kalian”.
Pertanda apa ini? beliau sudah jengkel?
Singkat cerita, aku sampai di sekolah. Kupinggirkan
sepedaku didekat kantin. Kulihat raut muka tidak bersahabat di wajah bapak
kepala madrasahku. Beliau sudah berkenan mengantarkan kami pagi ini, tapi kami
muridnya masih banyak yang telat.
Seorang guru menyuruhku lekas masuk. Serius,
aku merasa bersalah. Sangat bersalah. Kenapa sepagi ini aku harus menghadapi
situasi ini? dan aku belum sarapan. Perutku minta diisi sebenarnya. Tapi aku
tak mungkin menunda perjalanan ini jika tidak ingin telat lebih lama. Aku baru
melihat separoh rombongan, kutanya pada adek kelas yang sudah berkumpul di
mobil itu.
“lho, Imam dan yang lainnya dimana?”.
“Belum datang mbak. Mungkin nanti ikut
mobilnya Pak Andhi.”, jawabnya.
Bismillah, subhanalladzi sakhoro lana
hadza wama kuna minal khosiriin. Doa safar kupanjatkan. Semoga rombongan ini
selamat Ya Allah. Dan aku tidak mabuk perjalanan. Amiiin.
Perutku bergolak-golak saat berada di
mobil. Aku tak ingin menambah murka bapak kepala madrasahku dengan mabuk
perjalanan di mobil. Akupun menahan mulutku, sebenarnya aku tidak kuat dan
ingin muntah. Ini perjalanan jauh, aku belum sarapan dan kumulai dengan suasana
hati yang kacau.
Setelah satu jam perjalanan kami
sampai. Aku segera keluar dari mobil dan bergabung dengan teman-teman yang
lain. Subhanallah, madrasah tempat kami lomba nanti sangat indah. Dan sangat
luas. Berbeda dengan sekolahku.
Aku segera mencari masjid. Mengecek bungkusan
nasi pecel yang kubawa dari rumah. Sudah agak penyet dan kertas minyaknya sudah
mulai berwara hitam karena minyak. Whatever, tidak peduli banyak mata yang
melihat aku makan dengan muluk di pinggir mushola. Aku cuek aja. Aku sadar sih,
ini bukan madrasahku. Aku bertamu ke madrasah orang lain. aku harus menghargai
adat sopan-santun. Tapi aku kan tidak melanggar apapun, dan satu hal aku lapar.
Ya udah, aku makan.
Entah mengapa walaupun aku sudah
makan, aku tetap merasa sedih. Semua orang berharap yang terbaik. Aku pun begitu.
Tapi Ya Allah, apa yang terjadi
terjadilah. Aku tak tahu skenario apa yang Kau siapkan untukku. Bagiku ini
adalah pratanda. Bahwa banyak kerikil yang ada di depan mata. Yang jelas aku
tak ingin mengecewakan Bapak Kepala Madrasahku yang sudah memberikan ilmunya
padaku. Tapi muara dari segala usaha manusia, tetaplah hak prerogatif Tuhan
untuk mengabulkan atau tidak.
Kini aku siap bersaing, tak peduli
kalah atau menang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar