Harga
Cinta Tanah Beta
Oleh
: Nuryanti
Berbicara mengenai
Pramudya Ananta Toer memang akan membuat sebuah diskursus yang seru. Mengingat
dia adalah orang yang menjadi legenda bagi angkatan sezamannya. Dia adalah
orang yang berbeda, dengan pengalaman yang berbeda dan garis hidup yang berbeda
dengan pengarang-pengarang lain. Bandingkan dengan pengarang yang diizini
pemerintah, Buya Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat K Miharja, dan kawan
kawan. tentu akan sangat berbeda sekali.
Jika kita menengok
catatan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan-catatan yang dibuat Pram di dalam
pembuangannya di pulau Buru. Dia menjadi salah satu pembaharu di pulau yang
tiada mengenal kehidupan. Ia dan kawan-kawan menjadi tahanan politik yang
mengemban amanah membuka satu pulau diantara tiga belas ribuan pulau di
Indonesia menuju tahap yang lebih modern. Mengemban amanah membuka pulau, Ya,
begitulah bahasa halusnya. Sedangkan bahasa kasarnya menjadi sapi perahan
pemerintah, diperah tenaganya untuk menghidupi diri dan komandan dengan cara
yang tidak efisien.
Padahal Pram bersama
dengan tahanan politik lainnya, adalah kaum cerdik cendikia yang bisa lebih
diberdayakan dalam memberikan sumbangsih untuk negara republik ini. Tentu
sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan di bidang keahlian masing-masing. Jika seandainya, pram
dan para tapol lain yang berpendidikan dan melek literasi ini bisa berkiprah
secara luas dalam masyarakat, mungkin kondisi Indonesia bisa lebih baik lagi.
Di pulau Buru, dalam
buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, para tapol harus bisa mengolah tanah untuk
kehidupan dengan cara seadanya, jika pihak keamanan tidak memberikan alat,
jadilah tangan yang menggemburkan tanah. Jika pihak keamanan berbaik hati
memberikan alat pertanian itu akan menjadikan rasa syukur mereka berlipat.
Tidak hanya bidang pertanian saja yang digarap, mereka juga membangun jalan
dengan menerabas hutan, memancing, beternak ayam dan sapi.
Kesempatan untuk
membaca dan memperluas cakrawala ilmu menjadi barang yang mustahil bagi para
tapol disini. Pram bisa menulis pun itu karena sorotan dunia internasional.
Belum lagi dengan pengawasan dan razia buku yang senantiasa membayangi. Jika
sampai dalam penggeledahan petugas menemukan kertas tulisan yang dianggapnya
mencurigakan, mereka tak segan untuk melumatnya, membakarnya hingga kembali ke
tanah.
Pulau Buru yang dikelilingi oleh laut dan
gunung, menjadi tempat yang pas dan spesial untuk para tahanan politik. Tempat
yang sulit untuk berkelit dan melarikan diri. Mengolah lahan harus dilakukan
jika masih ingin bernafas dan merasakan hawa segar mentari pagi. Banyak intrik
yang disampaikan dalam buku tersebut. bagaimana para tapol menghimpun diri dan
berencana untuk kabur, hingga akhirnya gagal. Bagaimana kelakuan komandan yang
menjadi titisan pemerintah dan menjadi orang nomor satu di kompleks blok
tahanan. Pram dengan jelas menggambarkan mereka minta penghidupan dari tapol,
main perempuan hingga judi. Semua modal para komandan dapatkan dari para tapol.
Harga
Sebuah Pilihan
Harga sebuah pilihan
semahal itu ternyata. Pramudya bisa berada di Pulau Buru tak lain tak bukan
karena tuduhan yang tidak jelas. Dia terdaftar sebagai anggota kehormatan LEKRA
(Lembaga Kesenian Rakyat) salah satu lembaga underbow PKI. Lazim kita ketahui,
pada masa Soeharto PKI menjadi partai terlarang dan para anggota partai
mendapatkan hukuman yang dahsyat. Pram berusaha membela diri dalam tulisannya
bahwa ia hanyalah anggota kehormatan, dia tidak pernah belajar berorganisasi
ataupun membela ideologi tertentu. Anggota kehormatan ialah bentuk penghormatan
orang terhadap kualitas seorang Pramudya Ananta Toer. Sayangnya, para kaum
dominan begitu bebalnya dan hanya melihat apa yang nampak. Yah, bebal ya.
Dan lagi, Pram adalah
manusia yang konsisten. Betapa pilihannya untuk mencintai Negara Kesatuan
Republik Indonesia begitu menghunjam jiwanya. Lebih dari empat belas tahun dia
keluar masuk penjara, pernah pula dikenai tahanan rumah. Namun, dia hanya bisa
mengeluh dan protes lewat tulisan, yang mengabadi dan menjadi cermin pengingat
bagi generasi muda. Dia tak pernah sama sekali berkeinginan untuk subversif,
untuk mengakomodir orang untuk melawan pemerintah. Betapa dia menghargai proses
hukum yang menimpanya. Meskipun batinpun meronta, karena tak jelas apa tuntutan
dan tak tahu apa salahnya.
Tentu sangat sulit,
untuk menerima penganiayaan terhadap harga diri menjadi seorang tahanan, tanpa
bisa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan yang adil dan wajar.
Betapa rasa cinta tanah air bagi Pram bisa mengalahkan segala derita. Jika
Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, namun pemasungan terhadap kebebasan
individu pram sebagai seorang pribadi makin menjadi-jadi. Kesulitan hidup akibat
penjajahan Belanda dan Jepang, belum lah berakhir.
Kebebasan
hanya Fatamorgana
Jika kita membaca dan menghayati buku catatan
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terdiri atas 2 jilid, tentu kita akan menemukan
biodata penggores pena, mbah Pram. Kita akan dibuat tercengang dengan biodata
yang khas dan berbeda dengan yang sering kita temui. Jika orang pada
umumnya menampilkan riwayat pendidikan
dalam biodata, Pram menampilkan catatan pengalaman penahanannya. Mulai dari penjara
Salemba, Pulau Nusa Kambangan, Pulau Buru, hingga Magelang/Banyumanik. Jika ditotal
keseluruhan sekitar empat belas tahun pram menghabiskan usianya di tahanan.
Menjadi orang yang terikat, bukan orang bebas.
Bayangkan, betapa rezim
telah merenggut waktu seseorang yang berharga. Betapa, hanya demi nafsu dan
melanggengkan kuasa, hak seorang individu tercerabut dari akarnya. Empat belas
tahun adalah waktu yang amat panjang untuk bisa berkreasi dan turut membangun
bangsa dengan keahliannya sebagai pengarang. Betapa masa-masa menjadi ayah
terlewatkan begitu saja, tanpa bisa melihat anak yang mulai tumbuh dan
berkembang. Tak bisa mendidik langsung, hanya menerima seuntaian surat tanpa
bisa membalasnya. Rezim kuasa tak izinkan tahanan politik untuk mengirim surat.
Jika ada paketan dari keluarga pun, banyak yang disunat oleh petugas. Banyak
yang menguap di tengah jalan. Hanya serpihan-serpihan surat dari sang anak,
yang kurang berharga dimata para petugas yang bisa lolos saringan petugas.
Dengan waktu empat
belas tahun, tentu bisa digunakan untuk membahagiakan istri tercinta. Dengan
waktu sepuluh tahun, tentu Pram bisa keliling dunia yang kata Copernicus bulat
ini. Dengan sepuluh tahun Pram bisa menggoreskan pena, dengan keahliannya
sebagai pengarang, menjadi salah satu penulis hebat Indonesia.
Dengan usia hidup Pram
sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dia telah
menginspirasi para pembacanya. Dia yang dalam masa hidupnya pernah tinggal
sekolah, dia yang merasa bodoh. Namun, ia yang terus berusaha untuk belajar.
Dia yang paling tua dalam kelas angkatannya di sekolah Taman Siswa di Blora,
tapi tak pernah dihinggapi rasa malu. Sepatutnya kita sebagai generasi muda
merasa malu dan berusaha untuk lebih baik dibanding Pram.
Jika dulu Pram harus
susah-susah mengetik dengan mesin tik yang besar dan tak bisa dihapus jika
salah memencet tombol, kita telah dihadapkan dengan laptop, komputer dan gadget
yang ringan dan multitasking. Tentu zaman telah merestui kita dan memberikan
kemudahan, seperti halnya zaman tak memberi kesempatan bagi Pram untuk menjadi
pribadi bebas seperti yang diharapkannya.
Hasrat Pram menjadi
manusia bebas, menjadi manusia yang tidak diperintah, tidak juga memerintah.
Hasrat Pram ibarat doa, walau dia hanya menikmati kebebasan di usia senja,
namun dia mewariskan kebebasan itu dalam masa kita. Masa demokrasi dimana kita
bebas berekspresi. Lalu, kita sebagai generasi muda, apalagi yang kita minta
dari Tuhan? Tugas kita adalah memaksimalkan potensi, menjadi pribadi yang
unggul, kreatif dan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Relatifnya
Hukum dan Keadilan
Hukum harusnya
menjadi pilar bagi negara yang sudah merdeka seperti di Indonesia. Namun, masih
seperti hari ini, hukum tumpul ke atas dan lancip ke bawah. Malah, bila
beberapa dekade yang lalu, di masa Pram menuliskan pengalamannya dalam Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu gap hukum lebih lebar dibanding sekarang. Dimana saat Pram
melalui masa-masa penahanannya di Pulau Buru, hak-hak sipil dilucuti dari para
tahanan politik. Asas praduga tak bersalah masih jauh panggang dari api. Tak
ada itu. Asas itu menjadi simbolisasi produk hukum yang masih pandang bulu.
Namun,
tak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh besar menuliskan gagasan cemerlangnya
dalam tahanan. Misal Hitler, menulis Mein Kampf dalam penjara. Mahatma Gandhi,
sang pembaharu India, mencetuskan swadesi dari balik jeruji tahanan. Pram
membuat masterpiecenya, tetralogi Buru yang membahas tentang periode
kebangkitan Indonesia dengan sangat apiknya di pulau Buru sebagai pusat bagi
tahanan politik. Meskipun begitu, kebebasan adalah hak tiap individu yang tidak
bisa diganggu gugat. Harusnya.
Terkadang
keadaan yang terjepit dan sengsara dalam tahanan bisa membuat perubahan
signifikan dalam intensitas berkarya. Namun, itu bukanlah alasan untuk menahan seseorang
tanpa alasan yang jelas dan rasional. Seperti halnya dengan burung, walaupun
dia diberi sangkar emas, jika habitatnya adalah alam bebas, tentu lebih bahagia
hatinya bila diberi kebebasan. Apalagi manusia? Yang punya otak dan nafsu
sekaligus.
Berbahagialah
kita yang tak pernah merasakan sengsaranya mengangkat senjata. Berbahagialah
kita menjadi putra zaman abad 21, yang seumur-umur tidak pernah melihat
pertempuran melawan Belanda, Jepang, Tanam Paksa, dan Kerja paksa. Berbahagialah
kita dengan syarat menginsyafi sejarah, tetap membacanya, menggali esensinya.
Niscaya kita akan menemukan para patriot yang mencintai negaranya, yang
mencintai anak cucu dan generasi mendatang, lebih daripada mencintai diri
sendiri. Pram, dia mencintai tanah airnya, dengan caranya. Demikian pula kita.
Biodata :
Nama :
Nuryanti
Universitas : Sebelas Maret Surakarta
No. Hp : 0857 9095 4045
Tidak ada komentar:
Posting Komentar