Mahasiswa
Bidik Misi, Implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi Minat Berprestasi dan Organisasi
Oleh
: Nuryanti
Beasiswa Bidik misi adalah beasiswa
unggulan dari pemerintah Indonesia. Dana APBN banyak dialokasikan untuk
membiayai beasiswa ini. Dari tahun ke tahun jumlah penerima Beasiswa Bidik misi
semakin bertambah. Beasiswa ini sejatinya dianggarkan untuk membiayai pelajar
yang pintar dan mengalami kesulitan ekonomi akibat kemiskinan. Diharapkan
melalui ilmu pengetahuan di perguruan tinggi bisa meningkatkan kualitas manusia
Indonesia menyambut Indonesia Emas 2045 nanti.
Namun, banyak pihak yang
menyayangkan karena beasiswa ini terkadang kurang tepat sasaran. Kurang tepat
sasaran dalam artian banyak penerima yang mampu secara ekonomi tapi masih saja
mendaftar beasiswa bidik misi. Belum lagi dengan perilaku hedonisme dan pola
hidup hura-hura yang ditampilkan mahasiswa penerima beasiswa. Misalnya saat
bidik misi turun, mereka malah beli gadget terbaru atau shopping mode pakaian
terbaru. Tentu hal ini menimbulkan banyak kecemburuan di kalangan mahasiswa
pada umumnya. Mahasiswa bidik misi menerima banyak keistimewaan, tidak bayar
biaya studi dapat biaya hidup pula.
Tapi saya yakin, tidak sepenuhnya
beasiswa salah sasaran. Mahasiswa bidik misi ada pula yang menginsyafi bahwa
ada banyak orang lain di luar sana yang lebih berhak menerima beasiswa daripada
dirinya. Namun jika dilogika dengan nalar, mahasiwa bidik misi pun harus
berkorban terlebih dahulu untuk bisa kuliah. Kuliah gratis yang
digembor-gemborkan pemerintah, bisa dikatakan belum sepenuhnya benar. Karena
uang biaya hidup tidak bisa langsung cair saat pengumuman diterima di perguruan
tinggi. Mahasiswa baru tidak bisa melenggang seenaknya saja, karena harus
memikirkan bagaimana mencari biaya awal studi. Seperti biaya indekos, biaya
makan, uang buku di awal studi dan transportasi. Mengingat beasiswa baru turun
sekitar 2-3 bulan setelah kuliah aktif.
Mahasiswa bidik misi saya katakan
adalah mahasiswa yang memiliki niat kuat dan orang tua nekat. Karena walaupun
kesulitan ekonomi melanda, mereka berjudi dengan nasib untuk kuliah. Dengan
harapan ada asa untuk kehidupan yang lebih baik dengan pendidikan. Sedangkan banyak
pula pelajar yang menginsyafi keadaan dan memilih bekerja daripada kuliah. Ada
banyak faktor memang, orang tua yang
sudah tua bahkan pesismisme bahwa sarjana pun
bisa saja menganggur.
Mahasiswa bidik misi, yang dianggap
hedonis maupun yang benar-benar merasai kemiskian mereka terikat dengan beasiswa bidik misi
yang dianggar dari APBN. APBN didapat dari uang rakyat melalui pajak. Dan
mereka punya tanggung jawab atas pemberian dari rakyat itu.
Marcell Mauss dalam bukunya The Gift menuturkan bahwa pada dasarnya
tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi
dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Malinowski dalam bukunya Aegonauts of the
Western Pacific (1961). Dalam buku itu Malinowski (1961, hal 176) memperlihatkan bahwa semua bentuk transaksi
berada dalam suatu garis hubungan yang berkesinambungan yang di satu kutub
pemberian itu bercorak murni, tanpa tuntutan imbalan, dan di kutub lainnya bercorak
pemberian yang harus diimbali.
Universitas Sebelas Maret adalah
salah satu kampus unggulan yang ramah dengan rakyat kecil dan mahasiswa miskin.
Terbukti dengan jumlah kuota bidik misi yang besar. Berdasarkan SK Rektor nomor
746/UN27/KM/2013 Tahun 2013 saja kuota sebanyak 1.320 mahasiswa dengan perincian 1.220
mahasiswa dari APBN dan 100 mahasiswa dari APBNP. Dan bisa jadi, untuk angkatan
2014 jumlah penerima lebih besar lagi. Namun, permasalahan ketepatan sasaran
dan mahasiswa penerima bidik misi yang hedonis juga menghinggapi kampus kita
tercinta ini.
Hal ini banyak dikeluhkan oleh
mahasiswa umum. Sebenarnya, mahasiswa
penerima bidik misi mempunyai tanggung jawab lebih terhadap kampus, dan
terutama rakyat Indonesia. Karena subsidi dari hasil keringat rakyat lah mereka
bisa merasakan bangku kuliah. Seperti kita ketahui bersama, kuliah masihlah
sesuatu hal yang wah dan elit dalam pandangan kebanyakan orang.
Mahasiswa penerima manfaat bidik
misi selayaknya memahami hal ini. Dan mereka hendaknya juga membantu perwujudan
tri darma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Ketiga hal itu bisa disalurkan
dengan mengikuti kegiatan organisasi yang ada di universitas, baik yang tingkat
universitas fakultas, jurusan maupun program studi. Bahkan, di UNS sendiri, ada
komunitas yang bernama KOMADIKSI SMART, dimana mahasiswa penerima Bidik Misi
berkumpul dan berorganisasi.
Diharapkan mahasiswa Bidik Misi bisa
aktif di organisasi, apapun itu. Karena dampak signifikan akan dialami oleh si
mahasiswa sendiri. Di organisasi tidak hanya belajar tentang teori tapi juga
bagaimana menerjemahkan teori dan mempraktekkannya. Semisal, bagaimana
menghandle forum, bagaimana menumbuhkan kemampuan public relation, bagaimana
menyemangati anggota, bagaimana mengelola waktu yang efisien dan sebagainya.
Tentu, diimbangi dengan mengutamakan kegiatan akademis dan menyelesaikan tugas
dosen tepat pada waktunya. Karena, IPK masih menjadi tolok ukur kuantitatif
terhadap kelangsungan beasiswa Bidik Misi.
Saya meyakini bahwa organisasi
apapun itu, yang sesuai dengan bakat dan minat mahasiswa pasti punya ketiga
unsur tri darma perguruan tinggi. Pengabdian masyarakat bisa dengan dusun
binaan ataupun bakti sosial. Pendidikan dengan pelatihan kepemimpinan bagi
mahasiswa maupun FGD. Penelitian bisa dengan badan penelitian dan pengembangan
(litbang) dan kajian wacana terbaru.
Keaktifan di organisasi dan
keinginan untuk berprestasi tinggi hendaknya menjadi cambuk mahasiswa Bidik
Misi. Mahasiswa bidik misi harus membuktikan bahwa mereka tidak kalah dibanding
mahasiswa lain dan bisa menjadi mawar yang bisa mengharumkan nama Universitas
Sebelas Maret.
Yang terpenting sebenarnya adalah
kesadaran mahasiswa. Mahasiswa terutama mahasiswa bidik misi yang sudah
menikmati uang rakyat, hendaknya sadar diri, meminjam bahasa Ronggowarsito,
eling lan waspodo. Eling yang artinya sadar dan selalu terjaga dengan keadaan.
Waspodo adalah menyadari bahwa segala yang kita nikmati akan dimintai
pertanggungjawaban.
Dan bagaimana membangun kesadaran
mahasiswa? Ini tergantung dari pribadi dan lingkungan masing-masing mahasiswa.
Tiap mahasiswa memiliki latar belakang yang mempengaruhi bagaimana kepribadian
dan sikapnya memandang alam sekitarnya. Yang jelas, pelatuhan instan semisal
ESQ yang hanya sekali saja, takkan mempengaruhi kehidupan mahasiswa dalam
jangka waktu yang lama. Diperlukan kemauan masing-masing individu untuk peka
terhadap lingkungan dan permasalahan. Dibutuhkan mahasiswa yang mau menjadi
pembelajar dari alam. Mahasiswa yang tidak menutup mata dan telinga terhadap
kejadian sosial di sekitarnya.
Ditulis untuk Komadiksi SMART , komunitas mahasiswa bidik misi yang selalu berupaya mengadvokasi mahasiswa bidik misi supaya tidak lupa dengan amanah yang diembannya. uang Bidik Misi adalah uang rakyat, maka tak pada tempatnya jika disia-siakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar