Netral
Terik matahari sangat menyengat. Semua
makhluk mencari tempat berteduh dan bernaung. Banyak yang hilir mudik dengan
urusan masing-masing. Membawa tas ransel ataupun tas kecil yang muat diisi satu
laptop. Mereka sibuk. Menimba ilmu di kampus ungu tercinta. Siapa yang tidak
bangga, menjadi bagian dari kampus ungu? Bergegas hilir mudik mahasiswa yang ku
lihat wujud rasa syukur mereka, bergegas menuju ruang perkuliahan dengan ghiroh
dan semangat besar. Aku pun, sebagai mahasiswa baru juga memiliki semangat yang
sama besarnya dengan mereka. Sekarang, aku sudah tidak ada jam kuliah lagi. Aku
perlu berbicara dengan orang yang lebih berpengalaman untuk mencari solusi dari
rusuhnya hatiku.
Aku di ruang dosen. Suasana ruang dosen hari ini lumayan lengang. Tiada mahasiswa yang antri di depan ruang prodi. Dosen lain pun nampaknya sedang mengajar di kelas. Di ruangan kecil tempat meja Bu Atik, aku berhadap-hadapan dengan beliau. kami berdiskusi, hingga dengan mengumpul-ngumpulkan keberanian akhirnya aku berucap apa yang ingin kusampaikan.
“Bu, saya ingin seperti mbak kos saya.
Mereka cantik-cantik dan santun dibalut dengan jilbab panjang dan lebarnya.”,
kataku dengan bersungguh-sungguh di hadapan bu Atik.
Aku sedari tadi mengajak bu Atik untuk
berdiskusi. Membahas berbagai hal mengenai pelajaran di kelas tadi, latar
belakang hingga pada akhirnya kuutarakan keinginanku untuk mengenakan jilbab
lebar.
Pikiran ini menghantui ku sejak
kemarin-kemarin. Aku melihat bahwa orang yang berjilbab lebar itu terkesan
tenang dan lebih cantik daripada aku yang masih berjilbab sekenanya saja.
Selain itu, karena teman-temanku yang sekos yang terbilang satu angkatan
denganku, angkatan mahasiswa baru, juga turut seperti mbak-mbak kos yang
menjadi panutan kami.
Berbeda dengan teman-temanku yang saat
mereka nyaman dan cocok, mereka tanpa banyak pertimbangan sudah mulai berjilbab
panjang. Ahh.. itu mungkin yang namanya hidayah Allah, begitu cepat mereka
menerimanya. Tapi aku? begitu susahnya hidayah itu masuk pada relung hatiku.
Nyatanya aku masih banyak pertimbangan. Tapi niat untuk berjilbab besar itu
masih terpendam, tapi urung kulakukan.
Hingga hari ini, aku dihadapan Bu Atik.
Saling diskusi dan bertukar pikiran.
“Semua kembali pada dirimu sendiri, nak.
Apa sebenarnya niatmu? Perlu kamu pertanyakan pada hati kecilmu? Hingga saat
kamu mengambil suatu keputusan itu membawa kebaikan dan ketetapan hatimu.”,
Kata Bu Atik menasihati.
Apa niatku? Yah, Bu Atik ada benarnya.
Apa niatku? Jujur kuakui di rumah aku tidak pernah melihat perempuan berjilbab
besar, menutup seluruh auratnya. Saat aku di Kota Budaya ini, aku banyak
berinteraksi dengan mereka. Mbak kos ku. Melihat dengan mata kepala sendiri,
betapa halus dan sopannya mereka. Ahh, inilah Islam. Yang lembut dan
menenangkan. Yang selalu berusaha melindungi diri, yang berusaha melindungi
diri sendiri. Di rumah, aku berjilbab sekenanya, masih kupertahankan hingga
kini. Apa komentar orang tua dan tetangga yang tidak pernah melihat orang
berjilbab besar, melihat aku? jika aku jadi meneruskan niatku? Apa jadinya?
Mungkin yang paling ringan adalah, dilihat dengan pandangan yang berbeda.
Mungkin pula pandangan mengejek, mungkin pula hinaan dan cacian, bahwa aku
sudah terpengaruh oleh budaya masyarakat kota. Ahh aku terlalu takut dengan
cela orang daripada pujian dari Allah sudah menjalankan perintahNya.
Aku masih diam. Terhanyut dalam pikiran
ku sendiri.
Bu Atik membeberkan pengalaman
orang-orang di sekelilingnya dalam beragama. Banyak yang mengalami proses yang
sulit dan tak terduga. Begitu kesimpulanku. Dan akupun harus mencari Tuhan ku
sendiri. Bagaimana aku memaknai hidup ini, menjadi seorang hamba sekaligus
seorang khalifah.
Ahh.. aku bingung lagi. Diskusi dengan
bu Atik membawaku untuk berpikir. Apakah ini yang namanya mahasiswa? Harus
menyelesaikan masalah yang ada, diberi data lalu diolah dengan nalar sendiri?
Apakah seperti ini? Berbeda sekali dengan zamanku saat masih di bangku sekolah
dulu, semua jawaban terasa jelas dan gamblang.
Saat aku keluar dari ruang dosen prodi,
setidaknya aku dapat sedikit pencerahan dari Bu Atik. Sisanya, harus kupikirkan
sendiri. Memang jika kupikir-pikir aku mungkin belum siap untuk berjilbab
lebar, aku masih mempertanyakan bisakah aku nanti istiqomah? Aku takut aku
menjadi orang munafik yang tidak konsisten dengan jilbabnya. Sedang, kuakui
imanku masihlah setipis rambut ari.
“ahhh... Tuhan. Maafkan hamba-Mu ini,
yang terlalu banyak pertimbangan dalam menjalankan satu kewajiban yang engkau
wajibkan atas diriku. Mungkin Tuhan marah, Tuhan boleh kok marah padaku, karena
aku belum berjilbab lebar, sedang aku sudah menerima dakwahnya. Aku bebal Ya
Gusti,.. aku tahu itu. Tapi ini lah aku. aku melihat orang lain di
sekelilingku. Tidak semua cewek yang kulihat berjilbab lebar, ada juga yang
memakai celana jeans ketat. Banyak pula yang menampakkan rambutnya. Berarti
Engkau Tuhan, adalah Tuhan yang Maha Pengasih. Mengasihi semua orang. Jika
Engkau tiada Kasih, pastilah sudah Engkau azab aku dan mereka. Lumat tak
berbekas di dunia. Hanya menyisakan mbak-mbak yang berjilbab lebar”
Aku mempertimbangkan banyak hal.
Pertama, aku belum yakin bisa konsekuen dengan jilbab yang lebar. Kedua, aku
belum sanggup membayangkan respons keluarga dan masyarakat terhadap jilbabku
nantinya. Yang ketiga adalah faktor program studi ku yang terkesan bebas dengan
banyak karakter orang, ideologi, agama dan aliran kepercayaan. Dimana aku
dituntut untuk bersifat terbuka dan toleran dengan teman, termasuk teman yang
berbeda jenis. Sedangkan di kos, hidupku berubah seratus delapan puluh derajat,
hidup dengan mbak-mbak kos yang penuh dengan tata krama dan menjaga diri. Tata
krama dalam agama ditunaikan hak-haknya.
Aku mengalami culture shock. Dua keadaan yang sebelumnya tidak kutemui saat aku
masih di kampung halaman di Madiun. Ahh, indahnya zaman dulu. Semua berlangsung
dengan pasti, hitam dan putih kentara benar. Sekarang yang kulihat adalah warna
abu-abu yang pekat. Tak jelas. Mana hitam. Mana putih.
Aku dan jilbab, seperti diambang ambigu.
***
“Apa itu Tuhan? Kenapa manusia
butuh Tuhan? Menurut Feuerbach agama adalah sumber keterasingan manusia. Orang
beragama karena lapar, karena butuh sandaran. Butuh jaminan bahwa suatu saat
ada zaman pembalasan. Jika mereka bisa bersabar menghadapi para kapitalis dan
pemilik modal, hidup dengan rasa sabar yang menyelimuti kehidupan mereka akan
masuk surga. Surga dan neraka adalah imajinasi manusia. Padahal dengan mereka
pasrah dan menerima nasib, hal itu akan membuat kaum kapitalis semakin jaya dan
menumpuk kekayaan di atas penderitaan kaum buruh. Sedangkan Marx mengembangkan
pendapat Feuerbach bahwa sumber keterasingan utama manusia adalah pekerjaan.
Agama adalah sumber keterasingan sekunder setelah pekerjaan”, urai dosen ku
dengan sangat meyakinkannya.
Dan akupun diambang kebingungan.
***
Aku tak tahu harus bagaimana. Aku
bingung. Kenapa aku berada di situasi yang bisa berkebalikan 180 derajat.
Kenapa aku dikelas mempertanyakan agama, sedangkan di kos aku melihat kawan dan
mbak kos melakukan perintah Tuhan dengan
khusyuknya. Aahh aku tak mungkin mengajak mereka diskusi tentang yang aku
pelajari. Aku takut dicap kafir. Mempertanyakan agama. Mempertanyakan sesuatu
yang seharusnya aku imani tanpa bertanya.
Sedang aku suka bergelut dengan
pikiran ku sendiri. Merenung dan berfikir. Keinginan yang dulu terpendam, ingin
berjilbab besar, semakin terpendam. Tapi itu masih ada. Aku takut. Saat aku
berjilbab besar aku akan dijauhi oleh teman-teman sekelasku. Tapi saat aku
masih mempertahankan jilbab yang hanya tipis ini, hal itu akan menjauhkan aku
dari pergaulan di kos. Sedang bagiku, kos adalah rumah keduaku.
Aku hanya ingin diterima. Aku tidak
ingin terasing. Aku hanya ingin netral, kalau boleh dibilang mungkin semacam
adaptasi. Ya, adaptasi terhadap lingkungan. Aku tidak ingin memihak. aku ingin
menjadi diriku sendiri.
***
Kadang aku mempertanyakan dalam
hatiku sendiri. Kenapa wanita ada yang bercadar, ada yang berjilbab lebar tanpa
cadar, ada yang berjilbab biasa aja. Ada pula yang tidak ah mungkin belum
berkerudung. Kenapa mereka seperti itu. Dan kenapa di setiap kelompok mereka
hanya menerima orang yang sama penampilannya dengan mereka. Kenapa seperti ini?
apakah yang berjilbab itu sudah lebih baik dari yang belum berjilbab? Ataukah
yang tidak atau belum berjilbab itu lebih buruk dari yang sudah berjilbab. Ahh
kenapa aku memikirkan baik dan buruk. Aku saja menilai diriku sendiri, secara
subjektif. Dan begitu juga orang lain.
***
Aku merasa tersesat di sini. Kenapa
mereka seperti ini. kenapa mereka berbeda dengan apa yang biasanya aku temui.
Aku semakin bingung. Aku kesini ingin mencari kenetralan. Mencari keidealan.
Aku ingin jadi orang yang netral.
Aku berada dalam satu gedung. Aku
sedang mengikuti orientasi menjadi anggota satu organisasi eksternal kampus.
Kenapa aku ada disini. Iseng ingin ikut aja. Ah aku manusia. Kenapa aku hanya
memperturutkan rasa iseng. Sekarang aku sudah disini. Aku tak mungkin keluar.
Setidaknya kuhabiskan materi dalam acara ini.
sehingga aku tidak punya tanggungan, mencari ilmunya.
Mereka juga mengaku Islam. Tapi
kenapa mereka banyak yang merokok. Bahkan cewek pun juga ada yang merokok. Ada
yang tidak berjilbab. Yakin? Ini organisasi Islam kan? Iya kan? Aku harus
bagaimana. Aku tidak pernah menghadapi hal seperti ini.
Dengan rasa canggung, aku tetap
menyelesaikan materi yang diberikan. Aku ingin tahu kenapa mereka mereka
seperti itu. Dan kutemukan jawabnya. Bolehkah kita menghalangi orang yang ingin
ikut organisasi Islam walaupun dia belum berjilbab? Kalau tidak boleh. Berarti
kita menghalangi hak mereka untuk berserikat dan berkumpul. Melanggar UUD 1945.
Tapi saat kita membiarkan mereka turut masuk, berarti kita menemani orang yang
sedang berproses. Mereka mempunyai kultur yang boleh lah untuk kita itu aneh
dan tabu, tapi ternyata mereka hidup di lingkungan yang berbeda dengan kita.
Mereka hidup di lingkungan yang keras. Di lingkungan di mana budaya hedonis
telah mendapatkan tempat. Kalau bukan kita yang merangkul mereka, lalu siapa
yang akan merangkul mereka? Kita andaikan bila aku yang ada di posisi mereka,
dan aku tidak mendapatkan tempat untuk berproses dan berorganisasi ditambah dengan
keterkucilan dari masyarakat. Ahhh.. aku tertolak oleh agama dan masyarakat
konservatif. Bukankah aku tidak merugikan mereka? Lalu kemana aku akan lari,
jika tidak ada organisasi yang mendekap dan memberikan senyuman padaku.
Salahkah aku jika aku lari kepada setan? Jika tidak ada lagi malaikat yang
peduli padaku?
Ahhh... syukurlah, itu hanya
pengandaian. Aku masihlah aku.
***
Aku masih berproses. Dalam hati aku
masih belum terinternalisasi dengan lingkunganku. Lingkungan ku yang manapun
itu. Aku masihlah aku. aku yang masih mencari. Satu hal yang mulai yang
kupahami. Don’t judge a book by its cover. Itu terlalu naif.
Ahh.. dunia ini tak jelas hitam atau
putih. Dunia ini penuh warna dan penuh makna. Dosa dan pahala tiada nampak di
pelupuk mata, itu mengandung rahasia.
Manusia punya caranya sendiri-sendiri untuk mendekati Tuhannya, kita tak
boleh mengklaim bahwa kita yang paling benar.
Akupun mulai mempertanyakan apa
niatku saat aku ingin berjilbab besar. “Benarkah itu lillahi ta’ala?”, dalam
batinku. Nampaknya tidak.
Harus kusadari, aku tidak pernah
bisa benar-benar netral. Pasti ada saja kecondongan dalam melihat realita. Netral
itu absurd.
Tapi aku bukan Feuerbach ataupun
orang ateis. Yakinlah, aku masih beragama. Ahh.. kenapa aku berusaha meyakinkan
kamu, apa pentingnya untuk kamu. Memangnya, aku beragama untuk terlihat dalam
pandanganmu?
Perlu kutanya hatiku.
Sebab. Aku hanya bisa berkata,
sebatas tahuku.
Oleh
: Nuryanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar