PERSPEKTIF
CANTIK DAN INDUSTRI KOSMETIK
LATAR BELAKANG
Perawatan wajah dan
kecantikan menjadi salah satu komoditas utama dunia industri saat ini. Siapa
saja orangnya, pasti menghendaki wajah yang cantik sesuai dengan yang dia
harapkan dan yang menjadi angan-angannya. Hal ini karena wajah menunjukkan
usia, gender dan ras diri dengan bermacam-macam derajat keakuratan, juga
kesehatan serta status sosial-ekonomi, suasana hati dan emosi kita, bahkan
mungkin juga karakter dan kepribadian kita (Synnot, 2007:115).
Tak heran sekarang ini
banyak sekali iklan-iklan di media massa baik cetak maupun elektronKi yang
menjual komoditas perawatan wajah dan tubuh. Mulai dari perawatan sabun cuci
muka, lipstik, sabun mandi, eye liner, bedak, pelembab, pemutih, alas bedak,
maskara dan lain sebagainya. Banyak pula merk yang beredar mulai yang bernada
keindonesiaan seperti sari ayu, Viva cosmetics, Marina, citra dan mustikaratu,
hingga produk merk dagang internasional seperti maybelline, garnier, pond’s,
red A dan lain sebagainya.
Belum lagi dengan
fenomena salon kecantikan yang pasti ada di setiap sudut kota. Pusat kecantikan
juga menjadi salah satu tempat berjualan jasa yang menghuni pusat kota. Pusat
kecantikan dengan facial sebagai jasa unggulannya banyak ditawarkan oleh merk
dagang natasha, Navaa Green, Larissa, dan lain sebagainya. Banyak orang yang rela
antri demi bisa konsul dengan dokter kecantikan dan kemudian menjalani
perawatan facial. Meskipun banyak yang merasakan sakit, karena terapis memaksa
jerawat dan komedo keluar dari pori-pori kulit masih banyak orang yang rela
untuk antri. Bagi sebagian orang, sakit yang dirasa tak sebanding dengan hasil
perawatan yang didapat. Bagi penggemar facial, biaya yang digelontorkan untuk
sekali perawatan yang lumayan mahal, tak menjadi masalah jika dibandingkan
dengan hasil wajah yang cerah dan berseri memancarkan aura kecantikan.
Banyak pula, aneka
permak tubuh yang bisa menciptakan tubuh dan wajah yang ideal. Ada perawatan
sulam alis untuk menambal sulam alis yang dirasa kurang tebal dan berbentuk,
ada perawatan sulam bibir untuk mendapatkan bibir yang seksi, ada perawatan
untuk merapikan gigi dengan behel, ada perawatan pelangsing tubuh bagi yang
mengalami obesitas, ada treatment untuk mempermak wajah dengan operasi plastik
di bagian wajah ataupun tubuh. Semua itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia
ada yang merasa tidak puas dengan kondisi fisik dirinya. Maka masyarakat
mencari cara untuk mendapatkan proporsi wajah dan tubuh sesuai harapannya.
Masyarakat Indonesia
sekarang ini menjadi konsumen produk-produk kosmetik dan kecantikan. Banyak
pula yang menjadi konsumen setia produk facial dan perawatan ala dokter kulit
di beauty center. Kecantikan seolah-olah menjadi sesuatu yang berada di luar
tubuh manusia, dan harus diciptakan dengan aneka produk dan perawatan kecantikan.
Bahkan ada yang rela merogoh kocek lumayan dalam untuk melakukan operasi
plastik maupun metode lainnya untuk mempermak tubuh dan wajah supaya terlihat
cantik dan muda.
Penting sekali untuk
mengetahui persepsi cantik yang terbangun dalam mindset masyarakat Indonesia.
Pendefinisian cantik yang didambakan oleh masyarakat, apakah murni dari
pendapat pribadi masyarakat ataukah ada pihak lain yang mengkonstruksi pikiran
rakyat Indonesia. Pembahasan akan difokuskan pada persepsi cantik menurut
masyarakat Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan industrialisasi,
globalisasi dan nilai ekonomi produk-produk kecantikan.
PEMBAHASAN
Kecantikan
memiliki makna sosial bagi individu. Mendalamnya dan meningkatnya makna sosial
atas kecantikan pada umumnya, serta wajah pada khususnya, dapat dilihat dengan
nyata di bidang ekonomi. Di Amerika Serikat, penjualan alat-alat kecantikan
meningkat dari $ 40 juta pada tahun 1914 menjadi $18,5 milyar pada tahun 1990
(Raines dalam Synnot:2007). Peningkatan nilai ekonomi dari kosmetika serta
alat-alat rias secara proporsional mungkin sama saja di Inggris dan Kanada.
Namun, fenomena ini merepresentasikan hanya secuil industri kecantikan saja.
(Synnot, 2007:116). Synnot mengatakan bahwa pemaknaan sosial terhadap term atau
kata kecantikan menjadi satu ladang bisnis yang tinggi pada penjualan alat-alat
kecantikan. Tidak hanya penjualannya saja yang tinggi tapi juga nilai
ekonominya juga tinggi. Alat-alat kecantikan dijual dengan harga relatif mahal,
tetap diburu oleh para pecandu kecantikan fisik.
Para
produsen alat-alat kecantikan mempunyai teknik pemasaran yang sistematis dengan
memanfaatkan media massa. Media massa merupakan alat promosi yang ampuh dalam
promosi kebudayaan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Granovetter “the mass media constitute the institutional
subsystem of the cultural industry. The diffussion of particular fads and
fashions is either blocked or facilitated at this strategic check point.
Cultural innovations are seen as originating in the technical subsystem”. (Granovetter
: 370)
Selain
iklan, media massa juga menampilkan tayangan infotainment yang menampilkan
keseharian artis sebagai tokoh publik. Artis selalu menampilkan yang
indah-indah dan kecantikan dirinya sebagai bagian yang terekam di media.
Tayangan infotainment ini, yang menyorot sisi pribadi public figure,
orang-orang populer, selebritas, hanya berbekal dengan satu-dua pertanyaan.
Selebihnya imaji penonton akan diseret oleh citraan yang sudah melekat pada
popularitas artis tersebut. (Wirudono, 2006:44).
Ambil
contoh adalah artis Syahrini. Seringkali tayangan infotainment menayangkan gaya
hidup syahrini yang glamor dan make up ala syahrini. Seperti bulu mata anti
badai, jambul khatulistiwa dan make up yang selalu menghiasi wajah Syahrini.
Tayangan infotainment yang menayangkan kehidupan glamor artis mau tidak mau
pasti mempengaruhi hasrat penontonnya untuk memiliki kecantikan yang setara
dengan yang dimiliki artis. Maka, pelaku industri kecantikan memasang jaring
promosi dengan menampilkan artis-artis muda dan berbakat untuk menjadi brand
ambassadornya. Seperti Tasya untuk iklan Garnier, Shireen Sungkar untuk iklan produk
fair and lovely, Dewi Sandra untuk Wardah dan lain sebagainya.
Padahal
jika dirunut menggunakan akal sehat, para artis yang menjadi brand ambassador
produk kecantikan sudah cantik sejak awalnya. Sebelum menjadi bintang iklan
mereka sudah cantik. Tapi, dengan adanya iklan penonton seolah dibius bahwa
dengan memakai produk kecantikan yang diiklankan oleh artis, para penonton bisa
mendapatkan kecantikan, ketenaran dan kemampuan seperti yang dimiliki sang
artis. Hal inilah yang dimaksud Baudrillard dengan kecantikan fungsional. Bagi
wanita, kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi
pengaruh dari alam, juga bukan pula kualitas moral sampingan, tetapi kualitas
mendasar, wajib dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingan
sebagai jiwanya. (Baudrillard, 2004)
Kecantikan
menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan mengundang hiperealitas. Misalnya
iklan sabun, dengan memakai sabun yang diiklankan para model dan bintang
tiba-tiba bisa menjadi putih dan cantik. Padahal, jika diaplikasikan sendiri di
rumah, efek sabun tersebut tidak sehebat itu. Bahkan jika digosok-gosokkan
seribu kalipun tidak akan membuat kulit kita seputih sang bintang iklan. Hal
ini karena bintang iklan yang membintangi iklan biasanya didominasi oleh artis
yang mempunyai kulit putih sejak lahir karena mempunyai orang tua yang berasal
dari luar negeri. Tentu, produk kecantikan yang ditawarkan kurang berdampak
terhadap masyarakat Indonesa yang mempunyai genetik kulit sawo matang.
Putih
sebagai ukuran kecantikan seorang wanita tentu merupakan suatu konstruksi yang
dibangun oleh industri media massa. Padahal, jika dperhatikan banyak wisatawan
yang berkunjung ke pantai-pantai di Indonesia untuk berjemur dan mendapatkan
kulit yang coklat. Konstruksi pikiran orang Barat dengan ras kaukasoid
beranggapan bahwa coklat itu cantik dan eksotis. Sedangkan kita yang memiliki
kulit coklat sawo matang berlomba-lomba untuk menjadi putih karena konstruksi
pikiran kita sudah seperti itu. hal itu tentu membuat kita mengkonsumsi produk
kecantikan secara masal dan menguntungkan industri kosmetik.
Selain artis dan media
massa yang memberikan definisi cantik yang diamini oleh masyarakat, media
bermain yang dipakai oleh anak-anak juga berpengaruh. Anak perempuan sering
sekali bermain peran (role playing) dengan boneka yang dia miliki. Industri dan
globalisasi telah menjadikan barbie sebagai boneka yang digemari oleh anak
perempuan dimana saja. Menurut Carole Spitzack dalam Rogers (1990), boneka
adalah wakil sekaligus pengganti tubuh manusia. ia mengatakan apa yang sering
kali justru diabaikan orang.”boneka dan perempuan saling menyombongkan satu
sama lain”. Tidak hanya boneka fashion seperti barbie yang menyimbolkan sosok
perempuan yang diidealkan oleh sebuah kebudayaan, perempuan seringkali juga
menjadikan dirinya versi hidup citra ideal yang direpresentasikan oleh sebuah
boneka. (Rogers, 1999:157). Maka tak heran ketika ada sebagian wanita yang
mempermak tubuhnya untuk tampil layaknya seorang barbie.
KESIMPULAN
Industri
kosmetika di Indonesia supaya bisa berkembang dengan baik dan mendapatkan
pasaran yang luas, mereka membentuk konstruksi masyarakat bahwa seorang wanta
harus cantik. Cantik didefinisikan sesuai dengan spesifikasi produk yang ingin
dipasarkan. Cantik itu harus putih, tinggi langsing dan sebagainya.
Ketidakpuasan akan kondisi fisik tubuh akan membuat orang mengkonsumsi produk
kecantikan. Selain itu peran media massa dan artis turut mempercepat masyarakat
mengkonsumsi produk kecantikan. Internalisasi nilai-nilai bahwa wanita harus
cantik, digambarkan dengan boneka barbie yang telah menjadi mainan anak sejak
kecil. Barbie menjadi contoh ampuh dan figur wanita ideal yang cantik, lincah
dan feminim.
DAFTAR
PUSTAKA
Synnot, Anthony. 2007. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Jogjakarta: Jogjakarta
Granovetter, Mark dan Richard Swedberg. Tanpa tahun.
The Sociology of Economic Life:
Westview Press
Wirudono, Sunardian. 2006. Matikan TV-mu. Teror Media TV di Indonesia. Magelang: Resist Book
Rogers, Mari F. 1999. Barbie Culture:ikon Budaya Konsumerisme. London: Sage Publications
Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi.
Jogjakarta: Kreasi Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar