Resume Subbab Arena Konsumsi
Pengemasan Ruang dalam Menonton
Televisi Buku Di Depan Kotak Ajaib
Tugas
Pengganti UK Mata Kuliah Antropologi Budaya
Disusun
Oleh :
Nuryanti K8413057
PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
Identitas Buku :
Penulis : Kris Budiman
Resume :
Ada keterikatan
(ketergantungan) antara aktivitas konsumsi dan lingkungan fisik. Penjelasan
John Ury (1995:1 & 28) menyebutkan bahwa aktivitas konsumsi menyediakan
suatu konteks spasial yang didalamnya benda-benda dan jasa-jasa dapat
digunakan. Ruang tidak lagi dibayangkan sebagai latar fisik semata, melainkan
telah menjadi pusat-pusat konsumsi (centers of
consumption). Masih menurut Urry (1995:21) kehadiran benda (televisi) di
salah satu ruang di dalam rumah turut mempengaruhi hubungan-hubungan
interpersonal di antara anggota-anggota keluarga. Untuk menonton acara
televisi, anggota keluarga akan mendatangi sudut-sudut ruang yang didalamnya
ada televisi, entah itu di ruang keluarga, ruang tamu, ruang tidur, bahkan
dapur tergantung dimana televisi diletakkan.
Interior
rumah dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi. Faktor-faktor fisik
ini mencakup ketersediaan tempat, jumlah televisi, dan penempatannya beserta
benda-benda lain di ruang tertentu. Menurut Barrios (1988:60) dalam pengaturan
ruang yang harus dipertimbangkan adalah faktor ketersediaan tempat, kebutuhan,
nilai-nilai dan dinamika interaksi anggota-anggota keluarga. Keluarga urban
memiliki persoalan dengan ketersediaan
tempat yang sempit dan terbatas. Mereka
memiliki pilihan yang terbatas dalam menentukan lokasi menaruh dan menonton
televisi. Salah satu pilihan yang banyak diambil adalah menempatkan televisi di
sebuah ruang yang yang menjadi pusat kegiatan.
Penempatan
televisi juga ditentukan dari titik spasial mana televisi hendak ditonton:
apakah dari atas sofa, kursi, karpet, balai-balai, atau kasur. Dapat terjadi seseorang mengembangkan rasa
memiliki yang kuat terhadap sudut atau lokasi tertentu (biasanya lokasi yang
paling nyaman untuk menonton televisi). Bahkan terkadang yang bersangkutan akan menamakan tempat itu
sebagai “tempatku”, “bantalku” atau “kursiku”.
Ajang
menonton televisi menyiratkan potensi konflik tertentu. Karena ajang menonton
televisi bersifat dinamis, penentuan tempat mungkin dikukuhkan dengan sebuah
kesepakatan yang bersifat hierarkis mengacu pada perbedaan usia, senioritas
bahkan jenis kelamin. Siapa yang lebih “memiliki” sering kali lebih berkuasa
untuk menentukan penggunaan dan pengaturannya. Ruang tempat menonton televisi
menjadi ajang pengelolaan kekuasaan.
Dalam
praktik menonton televisi, ada masalah mengorganisasian waktu yang menautkan
aktivitas menonton televisi dengan rutinitas kehidupan sehari-hari. (Barrios,
1998:65). Praktik menonton televisi
telah mengisi dan menjadi bagian dinamika kehidupan keluarga mulai dari
berbarengan dengan sarapan, bangun dari tidur siang, makan malam, dan pengisi
waktu senggang.
Berikut
adalah contoh kasus dari keluarga Pak Bin dan Pak Kus yang menjadi contoh
adanya kaitan antara penggunaan ruang dan penempatan televisi. Penggunaan
televisi secara struktural yang merujuk kepada penggunaan televisi secara
khusus untuk mengorganisasikan atau mengatur lingkungan.
Kasus
1. Keluarga Pak Bin
Keluarga Pak Bin
dideskripsikan memiliki rumah yang luas dengan ruangan yang serba besar dan
luas. Televisi diletakkan di ruang tengah yang berukuran 5 x 7 m persegi. Ruang
tersebut digambarkan penulis sebagai arena yang menjadi pusat bagi hampir
sebagian besar aktivitas konsumsi keluarga, karena rangkap fungsi sebagai ruang
keluarga, ruang makan, kadang sebagai ruang kerja dan kadang untuk menerima
tamu-tamu tertentu. Televisi menjadi titik fokus arena dalam ruangan tersebut.
Televisi dikelilingi oleh perabot yang bervariasi pernik cenderamata luar
negeri, buku-buku, trofi, piala, handuk, foto keluarga, patung keagamaan dan
barang pecah belah yang belum pernah dipakai. Perabot lain yang mengisi ruang
tengah adalah meja, sebuah sofa panjang dan tiga buah kursi jok tunggal.
Pernah pada suatu
ketika Pak Bin yang seorang pensiunan pegawai negeri melakukan perombakan pada
interior rumah atas inisiatifnya sendiri dan tidak berkonsultasi dengan anggota
keluarga yang lain. Semua anggota keluarganya termasuk istri dan tiga anaknya
melakukan protes atas reorganisasi yang dilakukan oleh Pak Bin. Maka, Pak Bin
harus mengembalikan susunan interior rumah seperti sedia kala. Kesepakatan yang
telah dibangun menyangkut pengaturan ruang tampaknya sulit untuk dilanggar Pak
Bin di hadapan kekuasaan penghuni rumah yang lain.
Kasus
2. Keluarga Pak Kus
Keluarga Pak Kus
tinggal di kompleks perumahan bersama istri, satu anak berusia 3 tahun dan satu
pembantu rumah tangga. Pak Kus dan
keluarga yang belum memiliki rumah pribadi sendiri, belum mau menyimpan terlalu
banyak perabot rumah tangga. Televisi diletakkan di ruang yang menyatu dengan
ruang makan dengan ukuran 4 x 6 m persegi. Ruang tersebut juga berfungsi untuk
menjadi ruang keluarga dan ruang makan. Aktivitas konsumsi keluarga Pak Kus
berporos di ruang ini.
Pak Kus menyimpan
televisinya di sebuah rak yang dipesan khusus untuk itu. harapannya adalah
supaya anaknya yang berusia tiga tahun tidak iseng memindah channel atau
menghidup-matikan televisi. Sebelumnya televisi diletakkan di sebuah meja tulis yang juga berfungsi sebagai meja baca Pak
Kus. Keluarga Pak Kus juga mengepung pesawat televisinya dengan aneka benda
pernak-pernik sebagai dekorasi. Televisi digunakan sebagai area visual display. Permukaan atas televisi
dilapisi taplak kain, diatasnya ada kalender duduk, celengan plastik, patung, beberapa
buah jam tangan, kancing baju atau karet gelang. Di sekitar televisi ada asbak,
kaset, dan remote control.
Keluarga Pak Kus sering
mengganti display atau tampilan
interior rumahnya terkhusus pada ruangan televisi. Keluarga Pak Kus menikmati
tayangan televisi di atas karpet, sebuah kasur busa lusuh dan sebuah bantal
besar. Bisa dikatakan lebih dari separuh
aktivitas keseharian keluarga Kus dihabiskan di atas karpet berukuran 2,5 x 3
meter persegi ini. Tidak hanya menonton televisi tapi juga aktivitas lainnya.
Pengorganisasian ruang
televisi seperti yang diuraikan diatas, dalam keluarga Pak Bin dan Pak Kus,
diandaikan oleh penulis seperti teater arena. Corak pengorganisasian ruang yang
demikian ini tampaknya bukan merupakan sesuatu yang tipikal, yang khas kedua keluarga itu saja. Disamping itu, corak
tersebut mungkin terlepas pula dari latar belakang “kelas” atau posisi sosial
para pemiliknya.
Dalam catatan kaki
menurut James Lull dan Se Wen Sun (1988:204), perilaku yang tipikal ini, yakni
perilaku “menghias” area di sekeliling
pesawat televisi dengan aneka objek visual, dapat menunjukkan seberapa tinggi nilai
kehadiran televisi di tengah-tengah keluarga.
Menurut pengamatan penulis buku ini, keluarga yang berasal dari
“kelas” sosial yang berbeda pun mengorganisasikan ruang televisinya dengan cara
yang kurang lebih sama, yakni seperti sebuah arena, dengan televisi sebagai
titik pusat orientasi visualnya. Contoh yang dipaparkan oleh penulis adalah
keluarga Mbak Rima (mantan PRT penulis). Ruang tamu yang menjadi tempat untuk
meletakkan televisi mengambil bentuk seperti tapal kuda. Pesawat televisi
diletakkan di atas lemari yang posisinya persis di pusat, di tengah-tengah
ruangan. Di sebelah kiri seperangkat meja dan kursi tamu, di sisi kanan ada meja tempat
menyetrika baju. Persis berhadapan dengan lemari, diantara meja tamu dan meja setrika, biasanya digelar
sehelai tikar apabila Mbak Rima sekeluarga menonton televisi pada sore dan
malam hari.
Kesimpulan yang diambil
oleh penulis bahwa ruang keluarga atau
ruang tamu telah mengalami pengemasan ulang, meminjam judul esai Rob Shields
(1992), “space for the subject of
consumption”, ruang bagi subjek yang berhasrat untuk mengkonsumsi televisi.
Hampir seluruh perabot dan benda-benda di dalamnya berfokus ke sekitar atau ke
arah pesawat televisi. Kotak ajaib ini menjadi pusat perhatian, fokus orientasi
visual penataan ruang. Keberadaan perabot-perabot dan benda-benda lain, pertama
dan terutama, adalah untuk menopang kenyamanan aktivitas menonton televisi.
Mengutip salah satu responden, Bu Tatik istri Pak Kus yang menyatakan bahwa
meja makan dan kursi-kursinyapun seperti sengaja diletakkan dengan posisi sedemukian
rupa sehingga masih bisa digunakan untuk duduk menonton televisi, meskipun
terasa “sedikit kejauhan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar