Beberapa pekan ini, heboh tentang penipuan agen travel “first
travel”. Banyak sekali korban yang melapor pada kepolisian. Kasus ini banyak
disorot media karena besarnya nominal dan banyaknya orang yang mengadukan. Selain
itu juga disebabkan karena gaya hidup mewah bos first travel.
Ada banyak perspektif yang digunakan. Ada yang berusaha
bersikap adil dengan tidak menghujat berlebihan, mencoba bersikap jernih. Menggunakan
perspektif anak tersangka yang bisa saja stres karena bullyan di sosial media. Padahal
walau bagaimanapun jua, anak adalah entitas yang tak seharusnya turut
menyandang beban sosial karena perkara ayah bundanya.
Ada pula berita tentang korban first travel yang meninggal
karena terlalu syok dengan gagalnya perjalanan umroh mereka. Uang yang mereka
investasikan untuk perjalanan impian, hilang seperti angin, entah bisa diajukan
klaim pengembalian atau tidak.
Mereka sudah berlelah-lelah mengumpulkan pundi-pundi
rupiah, sudah terlanjur mengabarkan rencana
umroh ke sanak kerabat dan tetangga, nyatanya jadi korban penipuan. Tentu ini beban sosial bagi para korban. Perasaan malu
pada tetangga, hilangnya harta tanpa kejelasan ganti rugi, dan harapan yang
pupus begitu saja membuat resiko stres makin tinggi.
Setiap orang tentu memiliki harapan dan impian. Harapan di
angan berusaha diwujudkan supaya menjadi kenyataan. Namun hendaknya kita juga
memiliki sisi sabar dan tawakkal kepada Allah. Sebesar dan semegah apapun
rencana kita sebagai manusia, jika Allah belum berkehendak untuk mengabulkan
hajat kita, kita hanya bisa menjalankan apa yang sudah menjadi ketentuan Nya.
Jika sudah jadi korban, ya mau bagaimana lagi. Tetap lakukan
kegiatan sehari-hari, beraktiivitas, mulai segala sesuatunya dari awal. Banyak hal
yang bisa kita lakukan untuk bisa hidup bahagia, anggap ini sebagai cobaan dan
kesempatan untuk lebih teliti di masa depan.
Ikhlaskan yang telah lalu. Jika kita sadar, kita lahir ke dunia dalam keadaan telanjang,
tanpa baju, tanpa status sosial, tanpa harta, tanpa pangkat dan jabatan. Harta yang
kita cari lalu kita miliki hanyalah titipan. Kita berpulang pun tak membawa harta benda,
kecuali beberapa lembar kain mori saja.
Harapan yang baik
tentu harus kita pupuk, namun kita harus menyertakan Allah dalam tiap keputusan
yang kita ambil. Agar kala menemui geronjalan masalah yang menghantam, kita
bisa tetap kokoh, meski tertatih dan sedih, setidaknya kita tidak tumbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar