Judul : Gadis Pantai
Pengarang
: Pramudya Ananta Toer
Halaman : 272 halaman
Cetakan : Cetakan 7, september 2011
Penerbit
: Lentera Dipantara
Karya
Pram khas dengan nuansa masa perjuangan dan masa penjajahan. Novel Gadis Pantai
yang sebenarnya adalah trilogi, hanya sekuel pertama yang bisa dinikmati oleh
generasi sekarang dan generasi mendatang. Sejarah menghendaki buah pikir yang
tercantum dalam sekuel kedua dan ketiga buku ini musnah dan tak bisa
didapatkan. Kuasa dan tirani pada masa itu, telah demikian beringas dan
ketakutan, buku menjadi salah satu doktrinasi buruk pada masyarakat hanya
karena keanggotaan kehormatan yang diberikan LEKRA (sayap kesenian partai
Komunis Indonesia pada masa itu).
Seperti
tetralogi buru yang menceritakan minke,seorang terpelajar jawa piawai menulis,
dengan tulisannya ia melawan, meski sekuat apapun minke melawan, dia hanyalah
butiran debu bagi pemerintah Hindia Belanda. Yang tetap kalah dan mengalami sad
ending. Diakhir, menurut catatan Pangemanann dengan dua n, setelah minke keluar
dari tahanannya, semua yang dia miliki telah musnah, dan ia meninggal dengan
sedikit orang yang kenal. Dianggap orang jalanan yang tak punya sanak,
keluarga, handai taulan dan kenalan. Padahal pada masa jayanya dengan
penerbitan berkala koran, tak ada seorangpun di tanah Jawa yang tidak
mengenalnya. Budaya literasi dipilih oleh minke untuk melawan. Saat pendidikan
telah memberikan setitik cahaya terang untuk keluar dari penjajahan dan
penindasan.
Buku
Gadis Pantai, dilihat dari sekuel pertama, mengambil rentang waktu lebih
baheula dibanding tetralogi buru. Seorang anak usia 14 tahun yang dinikahkan
dengan sebatang keris, sebagai perwakilan dari tuannya. Seorang santri jawa
yang menjadi pegawai belanda yang dpanggil dengan bendoro.
Dinikahkan
dengan sebilah keris, nyatanya sang gadis pantai hanya dinilai sebagai istri
percobaan. Hal ini karena Gadis Pantai berasal dari orang kebanyakan, bukan
priyayi, kaum awam yang tidak pantas untuk diajak menemui tamu. Namun begitu,
Gadis Pantai yang diberi nama Mas Nganten harus belajar tata krama dan sopan
santun menjadi priyayi. Tidak boleh terlalu mengumbar perasaan, tidak boleh
tertawa terbahak-bahak, tidak boleh bekerja seperti halnya di kampung nelayan
dulu, hanya belajar membatik dan keterampilan priyayi lainnya. Disana Gadis
Pantai sebenarnya merasakan kehampaan hidup dan merindukan kampung halamannya.
Dia memiliki pembantu tua yang setia, hingga akhirnya sang pembantu dipecat
oleh bendoro karena keberaniannya untuk menggugat para Agus mencuri uang milik
Mas Nganten. Agus adalah kerabat bendoro
yang berdarah priyayi. Walau agus yang mencuri, dia hanya dihukum. Si mbok tua
pun dipecat karena berani melawan, karena dia adalah sahaya yang tidak harusnya
melawan priyayi, walaupun secara nalar yang disampaikan oleh si mbok benar.
Si
mbok sebagai pelayan digantikan oleh Mardinah. Janda cantik anak juru tulis
utusan dari Bendoro Putri Demak. Mardinah dengan kelicikannya ingin menjatuhkan
dan membuat bendoro benci pada Mas Nganten, sang Gadis Pantai. Namun, dia tak
berhasil.
Dua
tahun pernikahan dengan bendoro, Mas Nganten hamil. Tak ada perhatian bendoro
padanya. Hingga anaknya lahir tiga bulan, Mas Nganten diceraikan. Tak mungkin
bendoro beristrikan orang kebanyakan, ia hanya dianggap pemuas nafsu. Bagi
priyayi, anak selusinpun, jika belum memiliki istri dari kasta yang sama,
berarti dia belum bisa disebut menikah atau memiliki nyonya. Istri seperti mas
nganten hanyalah istri percobaan, begitulah adatnya. Padahal, bendoro dalam
novel ini adalah santri, yang tentu paham dengan hukum islam., harusnya.
Si
Gadis Pantai melawan, dia setelah dicerai ingin mengurus sang Bayi. Namun, bayi
adalah hak bendoro. Perlawanan gadis pantai, membuatku pilu. Setidaknya gadis
pantai telah berjuang untuk tak berpisah dengan anak, meskipun gagal. Si gadis
pantai adalah kaum yang kalah, wanita tak pandai baca tulis, yang kebetulan
disukai bendoro, setelah punya satu anak dibuang begitu saja. dicampakkan
layaknya tebu yang diambil sarinya dan dibuang ampasnya. Gadis pantai ingin ke
blora, menemui si mbok pembantunya dulu. Ia malu kembali ke desa nelayan,
setelah semua yang terjadi pada dirinya.
Buku
ini berbicara tentang feodalisme jawa, dimana orang yang bekerja di kerajaan
atau yang bekerja pada belanda adalah orang yang harus dihormati. Masyarakat
kebanyakan harus tunduk setunduk-tunduknya pada mereka. Tak perduli dengan
betapa buruk apa yang mereka lakukan. Dimana masyarakat awam yang dilirik atau
dikehendaki diperistri oleh pembesar jawa, hanyalah sebatas gundik. Mereka
hanyalah istri coba-coba sebelum menemukan putri raja atau putri dari high
class pada zamannya.
Dikisahkan
pula satu scene ketika iring-iringan putri bupati Jepara diarak menuju rembang.
R. A Kartini yang sangat diagung-agungkan dan meriah. Dia menyadari bahwa
pernikahannya dengan bendoro tidaklah dipublikasi ke orang banyak karena dia
hanyalah seorang gadis pantai, dari rakyat kebanyakan. Dia tak pernah dikenalkan
pada tamu, hanya mengurus wilayah rumah tangganya saja. sedangkan anak seorang
bupati tentu sangatlah prestise untuk dikenalkan pada kenalan dan tamu yang
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar