Selasa, 29 Agustus 2017

Harap Sabar Ini Ujian

Kemarin aku mengunjungi teman yang sakit di rumah sakit Kasih Ibu. Ialah Mbak Tutik, dalam sebulan menginap di rumah sakit dua kali. Aku senang berkawan dengannya. Karena ia adalah kawan yang baik, orang pertama yang kukenal sejak menginjakkan kaki di Solo.

Aku tidak terlalu paham apa sakitnya. Sebelumnya di RS. Dr Oen sempat turut mendengarkan suster ahli gizi yang menyarankan makanan yang boleh dimakan dan apa yang sebaiknya dihindari. Setelah keluar dari RS dr Oen, ia sudah bugar, bisa ke Bandung untuk presentasi dalam seminar yang diikutinya.  

Ia lalu pulang ke Sampit, dan kembali ke Solo ngamar lagi di RS. Kasih Ibu. Kubaca ada lagi selebaran tentang diit makanan yang disarankan. Ada pula selebaran biaya yang harus dibayarkan selama perawatan di rumah sakit. Berkisar pada angka jutaan. Jumlah yang tak kubayangkan akan melayang dalam beberapa malam. Tak terbayangkan karena aku tak memilikinya. hehehe

Mbak Tutik adalah guru geografi di SMA N 1 Sampit yang sedang tugas belajar S2 di UNS. Sudah berstatus PNS dengan golongan yang tinggi tapi aku lupa tepatnya golongan berapa. Dari ceritanya ia adalah orang yang sangat sibuk dengan segudang aktivitasnya. Kesibukannya dalam mengajar, juga signifikan dengan gaji yang diperolehnya.  Ia memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Nyaris tanpa kekurangan untuk bahagia.

Namun, Allah menurunkan cobaan kepada hambanya untuk menguji iman takwa. Ia diuji dengan sakitnya. Ia selalu ceria, tidak pernah ingin merepotkan orang lain. Sering mengajak bercanda, dan menasihatiku. Yang paling kuingat adalah, cari pasangan yang setia dan baik agamanya. Karena dengan partner hidup yang setia menerima kurang dan lebihnya kita, niscaya akan membuat hati kita nyaman dan bahagia.


Ujiannya dan ujianku sebagai manusia tentu berbeda. Secara, kami adalah dua individu yang berbeda. Ujianku berkisar pada kesabaran dan kesempitan. Ujian kesabaran dalam mengurus pemberkasan wisuda dan SKL yang tak kelar-kelar. Ujian kesempitan karena belum dipertemukan dengan pekerjaan yang menjadi area ibadah, uji pengalaman dan sarana mendapatkan manfaat ekonomi. Singkat kata saya masih pengangguran. Belum mendapatkan pekerjaan. Dan aku hanya bisa apa? Hanya bisa sabar.

Harapan

Beberapa pekan ini, heboh tentang penipuan agen travel “first travel”. Banyak sekali korban yang melapor pada kepolisian. Kasus ini banyak disorot media karena besarnya nominal dan banyaknya orang yang mengadukan. Selain itu juga disebabkan karena gaya hidup mewah bos first travel.

Ada banyak perspektif yang digunakan. Ada yang berusaha bersikap adil dengan tidak menghujat berlebihan, mencoba bersikap jernih. Menggunakan perspektif anak tersangka yang bisa saja stres karena bullyan di sosial media. Padahal walau bagaimanapun jua, anak adalah entitas yang tak seharusnya turut menyandang beban sosial karena perkara ayah bundanya.

Ada pula berita tentang korban first travel yang meninggal karena terlalu syok dengan gagalnya perjalanan umroh mereka. Uang yang mereka investasikan untuk perjalanan impian, hilang seperti angin, entah bisa diajukan klaim pengembalian atau tidak.

Mereka sudah berlelah-lelah mengumpulkan pundi-pundi rupiah,  sudah terlanjur mengabarkan rencana umroh ke sanak kerabat dan tetangga, nyatanya jadi korban penipuan. Tentu ini  beban sosial bagi para korban. Perasaan malu pada tetangga, hilangnya harta tanpa kejelasan ganti rugi, dan harapan yang pupus begitu saja membuat resiko stres makin tinggi.

Setiap orang tentu memiliki harapan dan impian. Harapan di angan berusaha diwujudkan supaya menjadi kenyataan. Namun hendaknya kita juga memiliki sisi sabar dan tawakkal kepada Allah. Sebesar dan semegah apapun rencana kita sebagai manusia, jika Allah belum berkehendak untuk mengabulkan hajat kita, kita hanya bisa menjalankan apa yang sudah menjadi ketentuan Nya.

Jika sudah jadi korban, ya mau bagaimana lagi. Tetap lakukan kegiatan sehari-hari, beraktiivitas, mulai segala sesuatunya dari awal. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa hidup bahagia, anggap ini sebagai cobaan dan kesempatan untuk lebih teliti di masa depan. 

Ikhlaskan yang telah lalu. Jika kita sadar,  kita lahir ke dunia dalam keadaan telanjang, tanpa baju, tanpa status sosial, tanpa harta, tanpa pangkat dan jabatan. Harta yang kita cari lalu kita miliki hanyalah titipan.  Kita berpulang pun tak membawa harta benda, kecuali beberapa lembar kain mori saja.

Harapan yang baik tentu harus kita pupuk, namun kita harus menyertakan Allah dalam tiap keputusan yang kita ambil. Agar kala menemui geronjalan masalah yang menghantam, kita bisa tetap kokoh, meski tertatih dan sedih, setidaknya kita tidak tumbang. 

Kelompok Sosial