Kamis, 05 Juni 2014

Hidup Penuh Cela, Tak Selamanya



Hidup mahasiswa!

Hidup Mahasiswa!

Hidup mahasiswa!

          Pekikan suara  yel-yel yang selalu bergema saat ada acara BEM dan organisasi politik kampus lainnya. Kadang membuat miris di telinga mahasiswa lainnya. Salah satunya adalah Tina, temanku. “haduh, kurang kerjaan banget, ngapain juga mereka menghabiskan suara teriak-teriak enggak jelas kayak gitu. Aku itu juga mahasiswa. tapi aku enggak a to the lay, alay kayak mereka. Dasar anak BEM kamseupay”, kata Tina padaku. 
          

 Kami lanjutkan menyusuri jalan menuju gedung B, gedung tempat kami kuliah beberapa menit kemudian. Dengan riangnya Tina melangkahkan kaki hari ini. entah karena apa. Biasanya dia mengeluhkan tentang cuaca yang panas kurang bersahabat dengan kulitnya yang telah dirawat dengan ekstra.
         
 “Kenapa to, Tin ? kok hari ini kamu habis nyeletuk anak BEM katanya kurang kerjaan, eh malah senang banget? Ada apa emang?”, kataku penasaran dengan tingkah sobat ku satu itu.
          
 Dengan tersenyum ia menjawab, “Ra, tahu enggak? Aku minggu depan mau dibeliin motor sama bapakku. Beliau udah jual tanah yang di desa. Kan lumayan, sudah dua semester aku jalan kaki terus. Kan capek. Lagian enggak ada cowok yang memandang ke aku, karena aku jalan kaki. Padahal kan aku keren, mungkin kalau aku sudah pakai motor, cowok-cowok di kampus akan memandang aku sebagai the most perfect girl they wanted”. Dia pun tertawa.
         
 “syukur deh kalau begitu. Aku juga turut senang.”, jawabku.
          
 Tina adalah temanku. Males banget aku ngakui dia sahabatku.  Kalau bukan karena kos kami deket dan kami satu prodi, aku sudah menjauh dari dia, sama kayak teman-teman lain. berteman dengan dia sebenernya nyesek di hati. Dia kurang disukai di kelas karena dia selalu membanding-bandingkan orang lain.  Selain itu dia adalah anak yang suka sosialita, dia suka memakai barang-barang yang tergolong berlebihan untuk mahasiswa semester awal seperti kami. Wajahnya dipercantik dengan polesan make up tebal. walau disindir dosen sekalipun, nampaknya hal itu tidak mempengaruhi penampilan Tina.
          
 Dan satu hal lagi yang tidak disukai teman sekelas dari dia. Sok. Menganggap teman-teman yang menjadi anggota atau pengurus organisasi kemahasiswaan dianggap sebagai orang kurang kerjaan.

          “memang kerjaan dia yang Cuma make bedak, main sana-sini itu doang yang penting? “, gerutu teman-teman di belakang Tina.

          Dan sepagi ini dia sudah mencela anak BEM yang sedang mengadakan acara di lapangan fakultas. Dan dengan tanpa dosa dia mencela.

“lupakah dia kalau aku, orang di sampingnya ini adalah pengurus BEM? Aku adalah bagian dari Bem lo. Kenapa mencela kok di depanku, dasar ini anak”, batinku.

Tapi, dia sedang senang pagi ini. aku sebagai teman tak ingin merusak suasana hatinya. Aku turut bahagia.

Yah walaupun menjengkelkan. Gimana lagi. Hanya aku yang masih betah jadi temannya. Entah sampai kapan.
***

          Sudah pukul 11.00. kelas sudah usai. perutku sudah mulai krucuk-krucuk. Mungkin cacing di perutku juga lapar, dan minta dapat jatah makan hari ini. bapak dosen telah meninggalkan kelas.

          Duduk di sampingku, si Tina. Kenapa dia? Kuperhatikan sejak tadi dia meringis-meringis enggak jelas.

          “Kenapa, Tin? Makan yok”

          “enggak kenapa-kenapa. Ah, enggak ah. Aku kan lagi diet. Biar lebih seksi lagi”, jawabnya.

          “enggak mau ya udah. Berangkat sendiri”, kataku.

          Beberapa meter aku beranjak dari tempat dudukku. Kudengar suara ambruk. Aku kaget. Secepat kilat aku menoleh ke belakang. Teman-teman sudah menggotong Tina yang ambruk tak sadarkan diri. Tanpa daya.
***
         
 Perlahan dia membuka matanya. Ternyata ini anak bisa sakit juga.  Dia kelihatan sangat lemah sekali. Wajahnya pucat , rambutnya awut-awutan, bibirnya kering, dengan kelopak mata sayu. Dibalik keangkuhaan Tina, ternyata dia bisa sakit juga.
   
       Saat matanya telah terbuka, dia perlahan-lahan memandang sekitar. Ada aku dan teman-teman sekelas lainnya. Yah, walaupun kami benci dia dalam hati. Kami masih punya rasa kasihan pada dia. Dia anak kos, anak rantau, jauh dari orang tua dan sekarang jatuh sakit tak berdaya.
  
        Kami mencoba tersenyum padanya. Kami menyuruhnya makan. Supaya lekas sembuh dan kuat.
  
        “kenapa ku ada disini? Biayanya dari mana? Ayo pulang aja, ”, katanya dengan wajah menghiba.
   
       Dimas, ketua kelasku menjawab. “kamu bicara apa to, Tin?. Udah makan aja. Biar kamu kuat dan cepet sembuh. Kata dokter kamu sakit radang usus buntu. Dan harus segera dioperasi. Kami sudah telepon orang tuamu, dan mereka 5 jam lagi akan sampai kesini”.
   
       “apa? Operasi usus buntu? Uangnya dari mana, Dimas? Aku lebih milih dibelikan motor daripada buat operasi. Bapak dan ibu mau ke sini? Pasti mereka membatalkan beli motor untuk aku gara-gara aku sakit.”, tutur Tina dengan air mata tertahan di pelupuk mata.
   
       “udah Tin. Yang terpenting itu kamu cepet sembuh. Uang bisa dicari nanti. Yang terpenting kamu cepet sehat. Bapakmu berpikiran begitu. Aku tadi menelepon beliau.  skala prioritas yang terpenting adalah kesehatan kamu. Nah, aku ada usul. Kamu bisa mengajukan permohonan dana kasih ke universitas, biasanya difasilitasi sama BEM. Nanti biaya operasi kamu bisa diganti sama pihak universitas. Tapi cairnya ya agak lama. Kan lumayan. Kamu bisa minta bantuan Rani, dia kan anak BEM. Mungkin bisa bantu”,
   
       Mendengar namaku disebut-sebut aku pun gelagapan. “eh.. iya. Iya tin, nanti tak bantu urus, asalkan dokumen dan berkas dari rumah sakit lengkap. Kamu bisa mengajukan dana kasih”, kataku.
   
       Air mata berlinang di mata Tina. Baru kali ini aku melihat air mata di wajah Tina yang dulu terlihat angkuh itu. “terima kasih ya teman-teman. Aku banyak berhutang budi pada kalian. Kalian baik dan perhatian saat keadaanku seperti ini. padahal aku sering mencela kalian, fisik kalian maupun aktivitas kalian. Dan juga Rani, Ran maafin aku ya. Aku yakin selama ini aku udah menyakiti kamu dengan menjelek-jelekkan BEM. Yang kurang kerjaan lah, norak lah dan sebagainya. Tapi saat aku sedang butuh dana untuk operasi, malah anak BEM yang membantu mahasiswa apatis kayak aku. makasih ya Ra.. maafin aku. maafin aku. “
  
        Kami semua terharu dengan pengakuan dan permintaan maaf Tina. Semoga dia tidak akting, tapi benar dari lubuk hati

Mungkin aku melihat lembayung senja nan damai telah membawa sikap angkuh Tina ke tengah samudra. Tak terlihat lagi wujudnya. Sakit Tina telah menyadarkan kami untuk memberikan ketulusan, tidak hanya kepalsuan.

Ah... indahnya hidup jika kita bisa saling memahami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial