Selasa, 03 Juni 2014

Netral



Netral
Terik matahari sangat menyengat. Semua makhluk mencari tempat berteduh dan bernaung. Banyak yang hilir mudik dengan urusan masing-masing. Membawa tas ransel ataupun tas kecil yang muat diisi satu laptop. Mereka sibuk. Menimba ilmu di kampus ungu tercinta. Siapa yang tidak bangga, menjadi bagian dari kampus ungu? Bergegas hilir mudik mahasiswa yang ku lihat wujud rasa syukur mereka, bergegas menuju ruang perkuliahan dengan ghiroh dan semangat besar. Aku pun, sebagai mahasiswa baru juga memiliki semangat yang sama besarnya dengan mereka. Sekarang, aku sudah tidak ada jam kuliah lagi. Aku perlu berbicara dengan orang yang lebih berpengalaman untuk mencari solusi dari rusuhnya hatiku.

Aku di ruang dosen. Suasana ruang dosen hari ini lumayan lengang. Tiada mahasiswa yang antri di depan ruang prodi. Dosen lain pun nampaknya sedang mengajar di kelas. Di ruangan kecil tempat meja Bu Atik, aku berhadap-hadapan dengan beliau. kami berdiskusi, hingga dengan mengumpul-ngumpulkan keberanian akhirnya aku berucap apa yang ingin kusampaikan.
“Bu, saya ingin seperti mbak kos saya. Mereka cantik-cantik dan santun dibalut dengan jilbab panjang dan lebarnya.”, kataku dengan bersungguh-sungguh di hadapan bu Atik.
 Aku sedari tadi mengajak bu Atik untuk berdiskusi. Membahas berbagai hal mengenai pelajaran di kelas tadi, latar belakang hingga pada akhirnya kuutarakan keinginanku untuk mengenakan jilbab lebar.
Pikiran ini menghantui ku sejak kemarin-kemarin. Aku melihat bahwa orang yang berjilbab lebar itu terkesan tenang dan lebih cantik daripada aku yang masih berjilbab sekenanya saja. Selain itu, karena teman-temanku yang sekos yang terbilang satu angkatan denganku, angkatan mahasiswa baru, juga turut seperti mbak-mbak kos yang menjadi panutan kami.
Berbeda dengan teman-temanku yang saat mereka nyaman dan cocok, mereka tanpa banyak pertimbangan sudah mulai berjilbab panjang. Ahh.. itu mungkin yang namanya hidayah Allah, begitu cepat mereka menerimanya. Tapi aku? begitu susahnya hidayah itu masuk pada relung hatiku. Nyatanya aku masih banyak pertimbangan. Tapi niat untuk berjilbab besar itu masih terpendam, tapi urung kulakukan.
Hingga hari ini, aku dihadapan Bu Atik. Saling diskusi dan bertukar pikiran.
“Semua kembali pada dirimu sendiri, nak. Apa sebenarnya niatmu? Perlu kamu pertanyakan pada hati kecilmu? Hingga saat kamu mengambil suatu keputusan itu membawa kebaikan dan ketetapan hatimu.”, Kata Bu Atik menasihati.
Apa niatku? Yah, Bu Atik ada benarnya. Apa niatku? Jujur kuakui di rumah aku tidak pernah melihat perempuan berjilbab besar, menutup seluruh auratnya. Saat aku di Kota Budaya ini, aku banyak berinteraksi dengan mereka. Mbak kos ku. Melihat dengan mata kepala sendiri, betapa halus dan sopannya mereka. Ahh, inilah Islam. Yang lembut dan menenangkan. Yang selalu berusaha melindungi diri, yang berusaha melindungi diri sendiri. Di rumah, aku berjilbab sekenanya, masih kupertahankan hingga kini. Apa komentar orang tua dan tetangga yang tidak pernah melihat orang berjilbab besar, melihat aku? jika aku jadi meneruskan niatku? Apa jadinya? Mungkin yang paling ringan adalah, dilihat dengan pandangan yang berbeda. Mungkin pula pandangan mengejek, mungkin pula hinaan dan cacian, bahwa aku sudah terpengaruh oleh budaya masyarakat kota. Ahh aku terlalu takut dengan cela orang daripada pujian dari Allah sudah menjalankan perintahNya.
Aku masih diam. Terhanyut dalam pikiran ku sendiri.
Bu Atik membeberkan pengalaman orang-orang di sekelilingnya dalam beragama. Banyak yang mengalami proses yang sulit dan tak terduga. Begitu kesimpulanku. Dan akupun harus mencari Tuhan ku sendiri. Bagaimana aku memaknai hidup ini, menjadi seorang hamba sekaligus seorang khalifah.
Ahh.. aku bingung lagi. Diskusi dengan bu Atik membawaku untuk berpikir. Apakah ini yang namanya mahasiswa? Harus menyelesaikan masalah yang ada, diberi data lalu diolah dengan nalar sendiri? Apakah seperti ini? Berbeda sekali dengan zamanku saat masih di bangku sekolah dulu, semua jawaban terasa jelas dan gamblang. 
Saat aku keluar dari ruang dosen prodi, setidaknya aku dapat sedikit pencerahan dari Bu Atik. Sisanya, harus kupikirkan sendiri. Memang jika kupikir-pikir aku mungkin belum siap untuk berjilbab lebar, aku masih mempertanyakan bisakah aku nanti istiqomah? Aku takut aku menjadi orang munafik yang tidak konsisten dengan jilbabnya. Sedang, kuakui imanku masihlah setipis rambut ari.
“ahhh... Tuhan. Maafkan hamba-Mu ini, yang terlalu banyak pertimbangan dalam menjalankan satu kewajiban yang engkau wajibkan atas diriku. Mungkin Tuhan marah, Tuhan boleh kok marah padaku, karena aku belum berjilbab lebar, sedang aku sudah menerima dakwahnya. Aku bebal Ya Gusti,.. aku tahu itu. Tapi ini lah aku. aku melihat orang lain di sekelilingku. Tidak semua cewek yang kulihat berjilbab lebar, ada juga yang memakai celana jeans ketat. Banyak pula yang menampakkan rambutnya. Berarti Engkau Tuhan, adalah Tuhan yang Maha Pengasih. Mengasihi semua orang. Jika Engkau tiada Kasih, pastilah sudah Engkau azab aku dan mereka. Lumat tak berbekas di dunia. Hanya menyisakan mbak-mbak yang berjilbab lebar”
Aku mempertimbangkan banyak hal. Pertama, aku belum yakin bisa konsekuen dengan jilbab yang lebar. Kedua, aku belum sanggup membayangkan respons keluarga dan masyarakat terhadap jilbabku nantinya. Yang ketiga adalah faktor program studi ku yang terkesan bebas dengan banyak karakter orang, ideologi, agama dan aliran kepercayaan. Dimana aku dituntut untuk bersifat terbuka dan toleran dengan teman, termasuk teman yang berbeda jenis. Sedangkan di kos, hidupku berubah seratus delapan puluh derajat, hidup dengan mbak-mbak kos yang penuh dengan tata krama dan menjaga diri. Tata krama dalam agama ditunaikan hak-haknya.
Aku mengalami culture shock. Dua keadaan yang sebelumnya tidak kutemui saat aku masih di kampung halaman di Madiun. Ahh, indahnya zaman dulu. Semua berlangsung dengan pasti, hitam dan putih kentara benar. Sekarang yang kulihat adalah warna abu-abu yang pekat. Tak jelas. Mana hitam. Mana putih.
Aku dan jilbab, seperti diambang ambigu.
***
            “Apa itu Tuhan? Kenapa manusia butuh Tuhan? Menurut Feuerbach agama adalah sumber keterasingan manusia. Orang beragama karena lapar, karena butuh sandaran. Butuh jaminan bahwa suatu saat ada zaman pembalasan. Jika mereka bisa bersabar menghadapi para kapitalis dan pemilik modal, hidup dengan rasa sabar yang menyelimuti kehidupan mereka akan masuk surga. Surga dan neraka adalah imajinasi manusia. Padahal dengan mereka pasrah dan menerima nasib, hal itu akan membuat kaum kapitalis semakin jaya dan menumpuk kekayaan di atas penderitaan kaum buruh. Sedangkan Marx mengembangkan pendapat Feuerbach bahwa sumber keterasingan utama manusia adalah pekerjaan. Agama adalah sumber keterasingan sekunder setelah pekerjaan”, urai dosen ku dengan sangat meyakinkannya.
            Dan akupun diambang kebingungan.
***
            Aku tak tahu harus bagaimana. Aku bingung. Kenapa aku berada di situasi yang bisa berkebalikan 180 derajat. Kenapa aku dikelas mempertanyakan agama, sedangkan di kos aku melihat kawan dan mbak kos melakukan perintah Tuhan  dengan khusyuknya. Aahh aku tak mungkin mengajak mereka diskusi tentang yang aku pelajari. Aku takut dicap kafir. Mempertanyakan agama. Mempertanyakan sesuatu yang seharusnya aku imani tanpa bertanya.
            Sedang aku suka bergelut dengan pikiran ku sendiri. Merenung dan berfikir. Keinginan yang dulu terpendam, ingin berjilbab besar, semakin terpendam. Tapi itu masih ada. Aku takut. Saat aku berjilbab besar aku akan dijauhi oleh teman-teman sekelasku. Tapi saat aku masih mempertahankan jilbab yang hanya tipis ini, hal itu akan menjauhkan aku dari pergaulan di kos. Sedang bagiku, kos adalah rumah keduaku.
            Aku hanya ingin diterima. Aku tidak ingin terasing. Aku hanya ingin netral, kalau boleh dibilang mungkin semacam adaptasi. Ya, adaptasi terhadap lingkungan. Aku tidak ingin memihak. aku ingin menjadi diriku sendiri.
***
            Kadang aku mempertanyakan dalam hatiku sendiri. Kenapa wanita ada yang bercadar, ada yang berjilbab lebar tanpa cadar, ada yang berjilbab biasa aja. Ada pula yang tidak ah mungkin belum berkerudung. Kenapa mereka seperti itu. Dan kenapa di setiap kelompok mereka hanya menerima orang yang sama penampilannya dengan mereka. Kenapa seperti ini? apakah yang berjilbab itu sudah lebih baik dari yang belum berjilbab? Ataukah yang tidak atau belum berjilbab itu lebih buruk dari yang sudah berjilbab. Ahh kenapa aku memikirkan baik dan buruk. Aku saja menilai diriku sendiri, secara subjektif. Dan begitu juga orang lain.

***
            Aku merasa tersesat di sini. Kenapa mereka seperti ini. kenapa mereka berbeda dengan apa yang biasanya aku temui. Aku semakin bingung. Aku kesini ingin mencari kenetralan. Mencari keidealan. Aku ingin jadi orang yang netral. 
            Aku berada dalam satu gedung. Aku sedang mengikuti orientasi menjadi anggota satu organisasi eksternal kampus. Kenapa aku ada disini. Iseng ingin ikut aja. Ah aku manusia. Kenapa aku hanya memperturutkan rasa iseng. Sekarang aku sudah disini. Aku tak mungkin keluar. Setidaknya kuhabiskan materi dalam acara ini.  sehingga aku tidak punya tanggungan, mencari ilmunya.
            Mereka juga mengaku Islam. Tapi kenapa mereka banyak yang merokok. Bahkan cewek pun juga ada yang merokok. Ada yang tidak berjilbab. Yakin? Ini organisasi Islam kan? Iya kan? Aku harus bagaimana. Aku tidak pernah menghadapi hal seperti ini.
            Dengan rasa canggung, aku tetap menyelesaikan materi yang diberikan. Aku ingin tahu kenapa mereka mereka seperti itu. Dan kutemukan jawabnya. Bolehkah kita menghalangi orang yang ingin ikut organisasi Islam walaupun dia belum berjilbab? Kalau tidak boleh. Berarti kita menghalangi hak mereka untuk berserikat dan berkumpul. Melanggar UUD 1945. Tapi saat kita membiarkan mereka turut masuk, berarti kita menemani orang yang sedang berproses. Mereka mempunyai kultur yang boleh lah untuk kita itu aneh dan tabu, tapi ternyata mereka hidup di lingkungan yang berbeda dengan kita. Mereka hidup di lingkungan yang keras. Di lingkungan di mana budaya hedonis telah mendapatkan tempat. Kalau bukan kita yang merangkul mereka, lalu siapa yang akan merangkul mereka? Kita andaikan bila aku yang ada di posisi mereka, dan aku tidak mendapatkan tempat untuk berproses dan berorganisasi ditambah dengan keterkucilan dari masyarakat. Ahhh.. aku tertolak oleh agama dan masyarakat konservatif. Bukankah aku tidak merugikan mereka? Lalu kemana aku akan lari, jika tidak ada organisasi yang mendekap dan memberikan senyuman padaku. Salahkah aku jika aku lari kepada setan? Jika tidak ada lagi malaikat yang peduli padaku?
            Ahhh... syukurlah, itu hanya pengandaian. Aku masihlah aku.
***
            Aku masih berproses. Dalam hati aku masih belum terinternalisasi dengan lingkunganku. Lingkungan ku yang manapun itu. Aku masihlah aku. aku yang masih mencari. Satu hal yang mulai yang kupahami. Don’t judge a book by its cover. Itu terlalu naif.
            Ahh.. dunia ini tak jelas hitam atau putih. Dunia ini penuh warna dan penuh makna. Dosa dan pahala tiada nampak di pelupuk mata, itu mengandung rahasia.  Manusia punya caranya sendiri-sendiri untuk mendekati Tuhannya, kita tak boleh mengklaim bahwa kita yang paling benar.
            Akupun mulai mempertanyakan apa niatku saat aku ingin berjilbab besar. “Benarkah itu lillahi ta’ala?”, dalam batinku. Nampaknya tidak.
            Harus kusadari, aku tidak pernah bisa benar-benar netral. Pasti ada saja kecondongan dalam melihat realita. Netral itu absurd.
            Tapi aku bukan Feuerbach ataupun orang ateis. Yakinlah, aku masih beragama. Ahh.. kenapa aku berusaha meyakinkan kamu, apa pentingnya untuk kamu. Memangnya, aku beragama untuk terlihat dalam pandanganmu?
            Perlu kutanya hatiku.
            Sebab. Aku hanya bisa berkata, sebatas tahuku.
                                                                                    Oleh : Nuryanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial