Minggu, 13 September 2015

Review Gadis Pantai




Judul               : Gadis Pantai
Pengarang       : Pramudya Ananta Toer
Halaman          : 272 halaman
Cetakan           : Cetakan 7, september 2011
Penerbit           : Lentera Dipantara

Karya Pram khas dengan nuansa masa perjuangan dan masa penjajahan. Novel Gadis Pantai yang sebenarnya adalah trilogi, hanya sekuel pertama yang bisa dinikmati oleh generasi sekarang dan generasi mendatang. Sejarah menghendaki buah pikir yang tercantum dalam sekuel kedua dan ketiga buku ini musnah dan tak bisa didapatkan. Kuasa dan tirani pada masa itu, telah demikian beringas dan ketakutan, buku menjadi salah satu doktrinasi buruk pada masyarakat hanya karena keanggotaan kehormatan yang diberikan LEKRA (sayap kesenian partai Komunis Indonesia pada masa itu). 

Seperti tetralogi buru yang menceritakan minke,seorang terpelajar jawa piawai menulis, dengan tulisannya ia melawan, meski sekuat apapun minke melawan, dia hanyalah butiran debu bagi pemerintah Hindia Belanda. Yang tetap kalah dan mengalami sad ending. Diakhir, menurut catatan Pangemanann dengan dua n, setelah minke keluar dari tahanannya, semua yang dia miliki telah musnah, dan ia meninggal dengan sedikit orang yang kenal. Dianggap orang jalanan yang tak punya sanak, keluarga, handai taulan dan kenalan. Padahal pada masa jayanya dengan penerbitan berkala koran, tak ada seorangpun di tanah Jawa yang tidak mengenalnya. Budaya literasi dipilih oleh minke untuk melawan. Saat pendidikan telah memberikan setitik cahaya terang untuk keluar dari penjajahan dan penindasan.

Buku Gadis Pantai, dilihat dari sekuel pertama, mengambil rentang waktu lebih baheula dibanding tetralogi buru. Seorang anak usia 14 tahun yang dinikahkan dengan sebatang keris, sebagai perwakilan dari tuannya. Seorang santri jawa yang menjadi pegawai belanda yang dpanggil dengan bendoro.

Dinikahkan dengan sebilah keris, nyatanya sang gadis pantai hanya dinilai sebagai istri percobaan. Hal ini karena Gadis Pantai berasal dari orang kebanyakan, bukan priyayi, kaum awam yang tidak pantas untuk diajak menemui tamu. Namun begitu, Gadis Pantai yang diberi nama Mas Nganten harus belajar tata krama dan sopan santun menjadi priyayi. Tidak boleh terlalu mengumbar perasaan, tidak boleh tertawa terbahak-bahak, tidak boleh bekerja seperti halnya di kampung nelayan dulu, hanya belajar membatik dan keterampilan priyayi lainnya. Disana Gadis Pantai sebenarnya merasakan kehampaan hidup dan merindukan kampung halamannya. Dia memiliki pembantu tua yang setia, hingga akhirnya sang pembantu dipecat oleh bendoro karena keberaniannya untuk menggugat para Agus mencuri uang milik Mas Nganten.  Agus adalah kerabat bendoro yang berdarah priyayi. Walau agus yang mencuri, dia hanya dihukum. Si mbok tua pun dipecat karena berani melawan, karena dia adalah sahaya yang tidak harusnya melawan priyayi, walaupun secara nalar yang disampaikan oleh si mbok benar.

Si mbok sebagai pelayan digantikan oleh Mardinah. Janda cantik anak juru tulis utusan dari Bendoro Putri Demak. Mardinah dengan kelicikannya ingin menjatuhkan dan membuat bendoro benci pada Mas Nganten, sang Gadis Pantai. Namun, dia tak berhasil.

Dua tahun pernikahan dengan bendoro, Mas Nganten hamil. Tak ada perhatian bendoro padanya. Hingga anaknya lahir tiga bulan, Mas Nganten diceraikan. Tak mungkin bendoro beristrikan orang kebanyakan, ia hanya dianggap pemuas nafsu. Bagi priyayi, anak selusinpun, jika belum memiliki istri dari kasta yang sama, berarti dia belum bisa disebut menikah atau memiliki nyonya. Istri seperti mas nganten hanyalah istri percobaan, begitulah adatnya. Padahal, bendoro dalam novel ini adalah santri, yang tentu paham dengan hukum islam., harusnya.

Si Gadis Pantai melawan, dia setelah dicerai ingin mengurus sang Bayi. Namun, bayi adalah hak bendoro. Perlawanan gadis pantai, membuatku pilu. Setidaknya gadis pantai telah berjuang untuk tak berpisah dengan anak, meskipun gagal. Si gadis pantai adalah kaum yang kalah, wanita tak pandai baca tulis, yang kebetulan disukai bendoro, setelah punya satu anak dibuang begitu saja. dicampakkan layaknya tebu yang diambil sarinya dan dibuang ampasnya. Gadis pantai ingin ke blora, menemui si mbok pembantunya dulu. Ia malu kembali ke desa nelayan, setelah semua yang terjadi pada dirinya.

Buku ini berbicara tentang feodalisme jawa, dimana orang yang bekerja di kerajaan atau yang bekerja pada belanda adalah orang yang harus dihormati. Masyarakat kebanyakan harus tunduk setunduk-tunduknya pada mereka. Tak perduli dengan betapa buruk apa yang mereka lakukan. Dimana masyarakat awam yang dilirik atau dikehendaki diperistri oleh pembesar jawa, hanyalah sebatas gundik. Mereka hanyalah istri coba-coba sebelum menemukan putri raja atau putri dari high class pada zamannya. 

Dikisahkan pula satu scene ketika iring-iringan putri bupati Jepara diarak menuju rembang. R. A Kartini yang sangat diagung-agungkan dan meriah. Dia menyadari bahwa pernikahannya dengan bendoro tidaklah dipublikasi ke orang banyak karena dia hanyalah seorang gadis pantai, dari rakyat kebanyakan. Dia tak pernah dikenalkan pada tamu, hanya mengurus wilayah rumah tangganya saja. sedangkan anak seorang bupati tentu sangatlah prestise untuk dikenalkan pada kenalan dan tamu yang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial