Minggu, 13 September 2015

Hujan di Lapak Semangka



Hujan terjadi malam ini. Merubah banyak hal. Hujan menyapu di tengah teori bahwa ini musim kemarau. Debu yang beterbangan hingga malam hari di depan lapak, tersapu oleh air yang tercurah dari langit. Hujan yang tiba-tiba datang, di bulan syawal, 4 Agustus 2015. Hujan datang di Desaku yang sedang musim nikahan, banyak suara sound menggelegar dengan aneka lagu, yang melambangkan sukacita dua insan yang disatukan dalam mahligai pernikahan. Jalan desa yang sudah teraspal mulus, dilalui oleh motor-motor yang kelabakan menghindari air yang semakin lama semakin deras. Sebagian besar pengendara memakai baju batik dan dandanan cantik untuk menghadiri resepsi nikahan. Kasihan. 

Aku disini. Di lapak semangka yang menjadi ladang usaha bapak dan keluarga. di pinggir jalan utama desa. Didekat pusat keramaian sekolah dasar, dekat lapangan dan juga dekat masjid. kebetulan malam ini yang jaga adalah aku dan kakakku. Bapak dan ibu jagong menghadiri resepsi pernikahan setelah tadi sore kami bercengkrama bareng di lapak semangka.  Kami ada disini, belajar berdagang semangka sejak bulan puasa tahun ini. Lumayan untuk menambah pengalaman dan kemampuan mengelola usaha. Mengingat dagangan diberikan terlebih dahulu oleh pemilik, dan kami tinggal menyetorkan uang modal padanya. Nyaris tanpa biaya yang besar untuk membuka lapak ini, kami mengeluarkan biaya untuk beli bambu penyangga lapak, tali rafia dan kresek untuk pembungkus semangka dan tentunya 8 tikar dan satu terpal untuk menjaga semangka dari sengat matahari. 

Malam ini hujan turun. Tak biasanya. Dan tentu bukan hal yang baik untuk pedagang semangka amatiran seperti aku dan keluargaku. Karena suasana dingin yang dihembuskan oleh hujan menyebabkan dahaga manusia menjadi tak terlalu terasa. Tak terlalu berhasrat mengkonsumsi buah semangka yang banyak airnya. 


Bukan itu kerisauan terbesarku. Bukan. Yang kurisaukan malam ini adalah terpal yang sudah usang. Yang dibeli bertahun-tahun yang lalu, yang warnanya berubah dari orange menjadi kuning dan bolong-bolong di beberapa tempat. Saat hujan menerpa, tetesan air hujan menimpa dan jatuh pada semangka. 

Lalu aku dan mas nur meminggirkan semangka dari atap terpal yang bocor. Aku menyadari bahwa hujan tak bisa disalahkan telah datang di malam ini, namun atap terpal yang bocor di lapak, membuat hatiku nelangsa. Kupandangi tiap tetesan air hujan yang jatuh menimpa jerami karena semangka sudah kupindahkan di tempat yang kering.  

Hujan selalu membuatku merasa nelangsa. Kata orang hujan hanyalah 10 % air dan 90 % adalah kenangan. Bukan itu. aku tak ada pengalaman yang mengharukan untuk dikenang pada saat hujan. Dan aku nelangsa karena hujan malam ini, lebih kepada ketakmampuan keluarga kami mengganti terpal dengan yang lebih baik. Uang Bapak lebih diprioritaskan pada hal-hal yang dianggap penting, mbecek pada saat resepsi, uang kos untukku, uang modal beli arang, uang kuliah mas nur dan biaya hidup sehari-hari. 

Aku juga nelangsa melihat hujan pada saat dirumah. Banyak genteng yang melorot dari tempatnya, beberapa genteng yang pecah di atas rumah. Pada saat hujan, senantiasa bocor tiap tahun.  rumahku termasuk di daerah yang landai dan tanahnya rendah. Yang kusyukuri adalah rumahku jarang terkena banjir. Rumahku walau seperti apapun bentuknya, masih bisa digunakan untuk berteduh keluarga kami. Dari panasnya matahari dinginnya hujan dan angin malam. 

Percakapan bapak dan ibu tadi pagi, membahas tentang lek pur. Seorang yang sawahnya berdekatan dengan sawah bapak yang membangun rumahnya. Lek pur menyiapkan 100 juta untuk membangun rumahnya, ia mengumpulkan tabungannya sejak dari waktu yang lama.

Sedangkan, bapak dan ibu, tidak bisa mengikuti tren membangun rumah dengan batu bata yang menjulang megah. Beliau tentu punya keinginan untuk membangun rumah seperti tetangga, tapi beliau lebih memfokuskan membiayai kuliah kami berdua, aku dan kakakku. Membiarkan rumah berdinding blabak  yang bolong disana-sini. Membiarkan rumah beratap genteng tipis yang bolong ataupun kerap melorot dari tempatnya. Membiarkan lantai tanah tetap pada tempatnya.

Aku memiliki tanggung jawab moral pada kedua orang tuaku. Aku hendak cepat lulus dan semoga Allah memberikan tempat untuk bekerja yang bisa membawa berkah dan kebahagiaan untukku dan keluarga. membangunkan mereka rumah sesuai harapan mereka yang mungkin sulit mereka wujudkan sendiri. Menjadi anak yang membaktikan diri untuk orang tua yang telah susah payah membesarkan, mendidik, dan juga membiayai sekolahku dari kecil hingga tingkat universitas. 

Tapi bapakku selalu bilang, kejar cita-cita setinggi langit. Jika setelah lulus S1, aku ingin lanjut S2 beliau mengizinkan dan mendukung. Beliau selalu menghendaki kesuksesan untuk anak-anaknya. Dunia akademisi memang menjadi impianku, menjadi dosen yang bisa senantiasa mengupdate ilmu pengetahuan terbaru, menjadi manusia yang tidak buta peta terhadap arus pemikiran dan informasi. Membagi ilmu kepada pemuda-pemuda yang mempunyai minat pada ilmu pengetahuan. 

Bismillah.. yang harus kulakukan adalah fokus belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk semester 5 kedepan, resolusi ku adalah kuliah sungguh-sungguh, bukan untuk mengejar IPK, tapi untuk menggali ilmu pengetahuan, mewujudkan mimpi menjadi dosen atau guru, belajar menulis baik fiksi maupun nonfiksi, mencoba untuk  kerja paruh waktu dan amal sholih lainnya. Sementara di rumah, aku bantu jualan semangka untuk membayar biaya kosku yang semakin lama semakin mahal saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial