Kamis, 17 September 2015

PAPER MATERI SUICIDE EMILE DURKHEIM MATA KULIAH SOSIOLOGI KEPENDUDUKAN



PAPER MATERI SUICIDE EMILE DURKHEIM
MATA KULIAH SOSIOLOGI KEPENDUDUKAN






OLEH :
NURYANTI             K8413057







PENDIDIKAN SOSIOLOGI- ANTROPOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
A.    BIOGRAFI EMILE DURKHEIM
Durkheim dilahirkan di Épinal, Perancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Perancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Perancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Perancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Perancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Perancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Perancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
B.     PEMBAHASAN ISI BUKU SUICIDE EMILE DURKHEIM
Dalam bab Introduce, pertama-tama Durkhiem mengemukakan bahwa kata “suicide” atau bunuh diri telah sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Definisi dari kata bunuh diri dianggap sebagai sesuatu hal yang universal dan diketahui semua orang, sehingga tidak ada definisi dari kata tersebut. Ini beresiko timbulnya kesalah pahaman menurut Durkhiem[2]. Seorang ilmuan harus membuat sebuah definisi berdasarkan fakta-fakta dilapang. Sehingga menurut Durkhiem, tugasnya kemudian adalah menentukan urutan fakta untuk menjadi pelajaran dibawah nama/istilah “suicide” atau bunuh diri. Oleh karena itu Durkhiem bertanya kepada keluarga dari orang yang bunuh diri, jawaban-jawaban tersebut digabungkan dengan sesuai pada kenyataannya. Diantara sebab yang berbeda dari kematian, beberapa memiliki kekhususan dalam mati dengan menjadi korban diri sendiri. Akibat dari tindakan yang penulis juga derita, dan ini adalah karakteristik yang sama, dilain hal, ini adalah karakteristik yang fundamental untuk ide biasa dari bunuh diri. Penelusuran Durkhiem ini menciptakan sebuah definisi dari kata bunuh diri. Dia mndefinisikan bunuh diri dengan “the term suicide is applied to any death which is the direct or indirect result of a positive or negative act accomplished by the victim himself”, yaitu bunuh diri diterapkan pada setiap kematian yang langsung atau pun tidak langsung hasil dari perbuatan positif atau negatif yang dilakukan oleh korban sendiri[3].
Namun menurutnya kemudian, definisi ini tidak lengkap dan gagal untuk membedakan dua macam kematian yang sangat berbeda[4]. Maksudnya adalah kematian oleh orang yang berhalusinasi, sehingga ia berada dalam tingkat kesadaran rendah yang menjatuhkan dirinya dari jendela dan orang yang melakukan tindakan tersebut dengan keyakinan atau dengan mengetahui perbuatannya tersebut.
Lebih lanjut Durkheim mempertanyakan apakah fakta tentang bunuh diri menarik bagi para Sosiolog?[5]. Karena bunuh diri selama ini dianggap sebagai tindakan individu yang dipengaruhi oleh individu saja dan tergantung pada faktor individu semata, sehingga berarti fenomena bunuh diri adalah miliki psikologi saja.
Dalam bab Suicide And Psychopathic States , disebutkan bahwa ada dua macam penyebab ekstra-sosial , yaitu organik-psikis disposisi dan sifat lingkungan fisik[6]. Durkhiem melakukan penelusuran untuk membuktikan apakah bunuh diri hanya bisa dijelaskan dengan fakta psikologis. Dari penelusurannya terhadap tulisan Esquirol yang menyebutkan bahwa ”bunuh diri menunjukan semua karakteristik dari keterasingan mental”[7]. Oleh karena itu menurutnya ”haruskan bunuh diri dianggap dalam semua kasus sebagai hasil dari keterasingan mental?”. Sehingga dalam beberapa teori bunuh diri dianggap sebagai salah satu bagian dari kegilaan dan bunuh diri tidak akan dilakukan oleh orang waras. Namun, ada sanggahan terhadap pendapat itu, bahwa bunuh diri bukan karakteristik penyakit, bunuh diri adalah hal yang berbeda.
Sehingga dari penelusuran yang ada adalah hal yang keliru jika bunuh diri dianggap sebagai salah satu jenis atau manifestasi dari kegilaan. Pertanyaan menarik yang menutu debat tentang bunuh diri dan kegilaan adalah “If suicide can be shown to be a mental disease with its own characteristics and distinct evolution, the question is settled; every suicide is a madman”[8], artinya jika bunuh diri dapat menunjukkan penyakit mental dengan karakteristik nya dan evolusi yang berbeda, pertanyaannya yang telah diselesaikan adalah : setiap bunuh diri dilakukan oleh orang gila?
Namun bunuh diri dapat dianggap sebagai suatu bentuk kegilaan parsial yang terbatas pada tindakan tunggal. Dalam terminologinya disebut dengan monomanias. Yaitu orang yang sakit, mentalitasnya sehat secara sempurna dalam segala hak kecuali satu hal, ia memiliki cacat tunggal. Semisal ia mencuri atau menggunakan bahasa kasar, namun semua perbuatannya yang lain benar. Monomaniac iartikan juga sebagai salah satu emosi ekstrem. Sehingga bunuh diri bisa dikategorikan sebagai perbuatan monomaniac, yaitu orang yang sehat, normal dan waras, namun melakukan satu perbuatan yang tidak masuk akal yaitu bunuh diri.
Durkheim mengutip empat jenis bunuh diri menurut Jousset dan Moreau de Tours, yaitu :
  1. Maniacal Suicide atau bunuh diri gila, disebabkan oleh halusinasi atau mengingau. Seseorang yang bunuh diri dengan sebab ingin melarikan diri dari bahaya yang imajiner atau mematuhi perintah misterius dari yang diatas. Tetapi motif bunuh diri tersebut dan ragam evolusinya mencerminkan karakteristik umum penyakit dari mana ia berasal, yaitu mania.
  2. Melancholy Suicide, hal ini berkaitan dengan depresi yang ekstrim dan kesedihan yang berlebihan. Kesenangan tidak lagi menjadi suatu hal yang menarik, dia melihat segala sesuatu seperti awan gelap. Hidup baginya tampak membosankan atau menyakitkan. Seperti perasaan yang kronis, sehingga ide-ide bunuh diri muncul.
  3. Obsessive Suicide, yaitu tipe bunuh diri tanpa motif, tetapi semata-mata oleh gagasan tentang kematian, tanpa alasan jelas, telah sempurna merasuki pikiran pasien. Seseorang yang terobsesi oleh keinginan bunuh diri, meskipun secara sempurna ia tahu bahwa tidak ada alasan untuk melakukan itu.
  4. Impulsive or automatic suicide, tipe bunuh diri tanpa motif seperti sebelumnya, namun ide untuk bunuh diri muncul tiba-tiba dan dalam jangka waktu yang pendek. Melihat pisau atau sedang jalan-jalan di tepi jurang, menimbulkan ide bunuh diri seketika dan dilakukan pasien seketika juga tanpa dia tau apa yang telah terjadi.
Kegilaan dan bunuh diri dikemukakan Durkhiem kembali lewat data statistik yang telah ditemukannya. Data statistik dalam tabel halaman 17 menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kegilaan dibandingkan laki-laki. Namun data statistik selanjutnya (tabel berbeda, halaman 19), menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh diri dari pada perempuan. Perbedaan yang ditunjukkan data statistik ini, memperkuat bahwa bunuh diri bukan bagian atau bukan disebabkan oleh kegilaan.
Dalam bab Suicide And Normal Psychological States-Race, Heredity, mencoba memaparkan keterkaitan bunuh diri dengan fektor turun temurun, apakah bunuh diri itu turun temurun? Yang berarti seorang anak bunuh diri karena mewarisi orang tua nya yang juga bunuh diri[9]. Namun ini bisa disangkal, dengan pemikiran bahwa bukan bunuh diri yang turun temurun tetapi sebuah gejolak emosi, atau tempramen yang turun temurun, tempramen orang tua dapat mempengaruhi tindakan seorang anak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa memang dalam beberapa kasus bunuh diri muncul kembali dalam keluarga yang sama. Namun, jangan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa bunuh diri itu turun temurun. Dari pengamatan disimpulkan bahwa kegilaan bisa merupakan turun temurun, oleh karena itu orang tua yang gila melakukan tindakan bunuh diri kemudian diikuti oleh anak-anaknya, bukan bunuh diri nya yang turun temurun melainkan kegilaannya.
Bab selanjutnya yaitu Suicide And Cosmic Factors atau Bunuh Diri dan Faktor kosmik, menyebutkan di halaman 59 bahwa keadaan emosi seseorang mungkin bisa menyebabkan seseorang memutuskan untuk bunuh diri, ketidak bahagiaan kebanyakan menjadi penyebab. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah musim mempengaruhi tindakan bunuh diri? Dalam pengamatan menunjuukan bahwa suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang memutuskan untuk bunuh diri. Selama kampanye di Mesir, jumlah tentara Prancis yang bunuh diri meningkat dan peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan suhu. Namun variasi suhu bukan berarti menyebabkan variasi bunuh diri. Jauh lebih banyak terjadi bunuh diri pada musim semi daripada di musim gugur, meskipun sedikit lebih dingin di musim semi[10].
Selanjutnya mencoba membandingkan angka statistik bunuh diri menurut bulan kejadian berlangsung, hari, dan jam kejadian. Siang hari dianggap adalah bagian dari waktu 24 jam yang paling menguntungkan untuk bunuh diri[11]. Namun ini tidak bisa dijadikan generalisasi.
Bab berikut nya adalah Imitation atau imitasi, sebelum mencari penyebab sosial dari bunuh diri, faktor pengaruh yang harus ditentukan karena sangat penting untuk dikaitkan, sehubungan dengan asal fakta sosial pada umumnya dan bunuh diri pada khususnya, faktor itu adalah imitasi[12].
Imitasi adalah fenomena psikologis murni yang jelas muncul dari kejadian antara individu dihubungkan dengan tidak adanya ikatan sosial. Maksudnya adalah seseorang bisa meniru orang lain tanpa ada jaringan yang mengikatnya. Sebelumnya Durkhiem mencoba mendefinisikan apa itu imitasi. Imitasi ada saat langsung dari suatu perbuatan, repersentasi sebagaimana perbuatan tersebut, yang sebelumnya telah dilakukan orang lain dilakukan lagi. Namun, perilaku bunuh diri bukan lah imitasi[13]
Pada bab How to Determine Social Caused And Social Types, yaitu cara untuk menentukan penyebab sosial dan tipe sosial. Durkheim menyayangkan tidak adanya klasifikasi orang normal (waras) yang melakukan bunuh diri dalam hal jenis atau karakteristik morfologi, hampir semua data yang ditemukan tentang itu kurang. Harus mengetahui kondisi psikologis bunuh diri pada saat tekad bunuh diri itu terbentuk, bagaimana ia siap melakukannya, bagaimana ia akhirnya melakukannya, apakah ia gelisah atau depresi, tenang atau emosi tinggi kah dia, cemas atau jengkel, dan data-data lain yang diperlukan. Namun kebanyakan data tersebut ada hanya untuk kasus bunuh diri oleh orang gila[14].
Dalam hukum, fakta bunuh diri selalu disertai dengan motif termasuk masalah keluarga, rasa sakit fisik atau lainnya, penyesalan, mabuk dan lain-lain[15]. Di hampir semua negara memiliki laporan statistik yang isinya tentang motif bunuh diri seseorang.
Dalam bab Egoistic Suicide, Durkhiem pertama membuka wacana dengan kalimat jika seseorang melempar sebuah peta bunuh diri Eropa, maka akan terlihat bahwa dinegara-negara Katolik seperti Spanyol, Portugal, Italia, bunuh diri sangat sedikit, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara Protestan, seperti Prusia, Denmark. Namun dimana Protestan menjadi agama minoritas di sebagian negara cenderung menurut angka bunuh dirinya. Lebih lanjut Durkhiem mengemukakan satu-satunya pembeda penting antara Katolik dan Protestan adalah bahwa Protestan jauh lebih bebas dari pada Katolik. Tidak ada pengawasan pada penganut agama Protestan, tidak seperti Katolik yang umumnya lebih ketat.
Sedangkan mengapa kecenderungan Yahudi minim angka bunuh diri dikarenakan perasaan solidaritas yang tidak biasa diantara mereka, setiap komunitas yang lecil menjadi kompak, koheren masyarakat dengan perasaan yang kuat dari kesadaran diri dan kesatuan[16]. Semua orang berpikir untuk hidup bersama, pengawasan yang konstan. Gereja Yahudi lebih kuat persatuannya dibandingkan yang lain. Solidaritas antar orang Yahusi besar.
Pada halaman 123, kesimpulan dari bab ini adalah mengapa bunuh diri meningkat dengan pengetahuan? Durkheim menyebutkan bahwa bukan pengetahuan yang menyebabkan bunuh diri, tapi manusia bunuh diri karena hilangnya kohesi dalam agamanya. Perdebatan atau goncangan argumen antara pengetahuan dan agama, membuat manusia terguncang.
Selanjutnya, disebutkan bahwa tentu saja orang yang menikah umumnya memiliki fisik dan moral konstitusi yang lebih baik dibandingkan yang belum menikah. Sehingga orang-orang yang telah menikah kecenderungan untuk melakukan bunuh diri lebih kecil dari pada orang yang belum menikah. Dan data menunjukkan bahwa janda lebih banyak melakukan tindakan bunuh diri dari pada orang yang sudah menikah pada usia yang sama[17]. Namun jika ada anak kecenderungan untuk bunuh diri bagi janda justru lebih tinggi dari pada janda yang tidak punya anak, ini berkebalikan dari duda, umumnya duda yang memiliki anak cenderung tingkat bunuh dirinya rendah dari pada duda yang tidak memiliki anak.
Tabel pada halaman 166 menunjukkan bahwa bunuh diri lebih banyak dilakukan orang didaerah perkotaan dari pada di daerah pedesaan. Masyarakat di perkotaan cenderung lebih sensitif, gangguan sosial yang besar, lebih mudah dipengaruhi, dan lain-lain.
Bunuh diri berbanding terbalik dengan tingkat integrasi masyarakat agama, bunuh diri berbanding terbalik dengan integrasi masyarakat domestik, dan bunuh diri berbanding terbalik dengan tingkat integrasi masyarakat politik[18]. Kekuatan kolektif adalah salah satu hambatan terbaik dalam menahan tindakan bunuh diri dan kalau kekuatan kolektif ini melemah bisa memicu tindakan tersebut[19]. Ketika masyarakat sangat terintegrasi masyarakat memegang individu dibawah kontrolnya, menganggap mereka berada dibawah pelayannanya dan hal itu bisa membuat membuang senjata untuk bunuh diri. Individualisme berlebihan tidak hanya satu-satunya penyebab bunuh diri, tapi memang satu dari sekian penyebab.
Sehingga bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dilakukan karena tingginya tingkat individualisme dan rendahnya ikatan sosial antar individu dalam kelompok nya masing-masing. Kenapa orang Protestan lebih banyak melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan ajaran protestant lebih menekannkan pada individualisme yang besar, iman adalah milik individu dan urusannya dengan Tuhan semata, gereja perannya tidak terlalu besar. Orang belum menikah lebih rentan melakukan bunuh diri karena ia merasa sendirian dan tidak ada ikatan komunal yang menjadi penghalang untuk melakukan bunuh diri.
Altruistic Suicide, ketika orang telah terpisah dari masyarakat, ia kurang memiliki hambatan untuk melakukan bunuh diri dan orang melakukan bunuh diri juga ketika integrasi sosial yang terlalu kuat[20]. Bunuh diri terjadi pada masyarakat primitif dengan karakteristik tertentu, yaitu : (1) Bunuh diri laki-laki di ambang usia atau terserang penyakit, (2) bunuh diri perempuan pada kematian suami, (3) bunuh diri pengikut atau hamba atas wafatnya pemimpin mereka[21].
Bunuh diri Altruistik yaitu kematian yang dianggap sebagai tugas, kehormatan, pengorbanan yang terpuji. Sehingga bunuh diri tipe ini justru disebabkan oleh integrasi dalam kelompok yang terlalu kuat. Individualitas sangat rendah sehingga yang terpenting adalah kelompok, biasanya banyak dilakukan oleh militer.
Anomic Suicide, anomy adalah faktor yang teratur dan spesifik dalam bunuh diri pada masyarakat modern. Bunuh diri egoistic dikarenakan hasil dari manusia yg dalam waktu tidak lama menemukan dasar eksistensi dalam hidup, bunuh diri altruistik dikarenakan dasar bagi eksistensi yang tampak berada diluar kehidupan manusia itu sendiri. Dan yang ketika, yaitu bunuh diri anomic, eksistensi baru saja ditampilkan, hasil dari aktivitas teratur manusia yang kurang dan akibat penderitaannya[22].
Dalam anomik pengaruh masyarakat kurang dalam gairah hidup yang mendasar. Manusia banyak kehilangan pondasi dikarenakan kekosongan norma atau aturan, inidividu tidak siap pada perubahan kondisi, sehingga bunuh diri terjadi.
Bukan hanya angka bunuh diri yang memperlihatkan hubungan dengan integrasi sosial seperti yang telah dipaparkan diatas, namun perubahan dalam angka kejahatan, penyakit akibat alkohol, angka perceraian, angka sakit mental juga memperlihatkan hubungannya dengan tingkat integrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial