Minggu, 13 September 2015

PERSPEKTIF CANTIK DAN INDUSTRI KOSMETIK



PERSPEKTIF CANTIK DAN INDUSTRI KOSMETIK

LATAR BELAKANG

Perawatan wajah dan kecantikan menjadi salah satu komoditas utama dunia industri saat ini. Siapa saja orangnya, pasti menghendaki wajah yang cantik sesuai dengan yang dia harapkan dan yang menjadi angan-angannya. Hal ini karena wajah menunjukkan usia, gender dan ras diri dengan bermacam-macam derajat keakuratan, juga kesehatan serta status sosial-ekonomi, suasana hati dan emosi kita, bahkan mungkin juga karakter dan kepribadian kita (Synnot, 2007:115). 

Tak heran sekarang ini banyak sekali iklan-iklan di media massa baik cetak maupun elektronKi yang menjual komoditas perawatan wajah dan tubuh. Mulai dari perawatan sabun cuci muka, lipstik, sabun mandi, eye liner, bedak, pelembab, pemutih, alas bedak, maskara dan lain sebagainya. Banyak pula merk yang beredar mulai yang bernada keindonesiaan seperti sari ayu, Viva cosmetics, Marina, citra dan mustikaratu, hingga produk merk dagang internasional seperti maybelline, garnier, pond’s, red A dan lain sebagainya. 


Belum lagi dengan fenomena salon kecantikan yang pasti ada di setiap sudut kota. Pusat kecantikan juga menjadi salah satu tempat berjualan jasa yang menghuni pusat kota. Pusat kecantikan dengan facial sebagai jasa unggulannya banyak ditawarkan oleh merk dagang natasha, Navaa Green, Larissa, dan lain sebagainya. Banyak orang yang rela antri demi bisa konsul dengan dokter kecantikan dan kemudian menjalani perawatan facial. Meskipun banyak yang merasakan sakit, karena terapis memaksa jerawat dan komedo keluar dari pori-pori kulit masih banyak orang yang rela untuk antri. Bagi sebagian orang, sakit yang dirasa tak sebanding dengan hasil perawatan yang didapat. Bagi penggemar facial, biaya yang digelontorkan untuk sekali perawatan yang lumayan mahal, tak menjadi masalah jika dibandingkan dengan hasil wajah yang cerah dan berseri memancarkan aura kecantikan. 

Banyak pula, aneka permak tubuh yang bisa menciptakan tubuh dan wajah yang ideal. Ada perawatan sulam alis untuk menambal sulam alis yang dirasa kurang tebal dan berbentuk, ada perawatan sulam bibir untuk mendapatkan bibir yang seksi, ada perawatan untuk merapikan gigi dengan behel, ada perawatan pelangsing tubuh bagi yang mengalami obesitas, ada treatment untuk mempermak wajah dengan operasi plastik di bagian wajah ataupun tubuh. Semua itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ada yang merasa tidak puas dengan kondisi fisik dirinya. Maka masyarakat mencari cara untuk mendapatkan proporsi wajah dan tubuh sesuai harapannya.

Masyarakat Indonesia sekarang ini menjadi konsumen produk-produk kosmetik dan kecantikan. Banyak pula yang menjadi konsumen setia produk facial dan perawatan ala dokter kulit di beauty center. Kecantikan seolah-olah menjadi sesuatu yang berada di luar tubuh manusia, dan harus diciptakan dengan aneka produk dan perawatan kecantikan. Bahkan ada yang rela merogoh kocek lumayan dalam untuk melakukan operasi plastik maupun metode lainnya untuk mempermak tubuh dan wajah supaya terlihat cantik dan muda. 

Penting sekali untuk mengetahui persepsi cantik yang terbangun dalam mindset masyarakat Indonesia. Pendefinisian cantik yang didambakan oleh masyarakat, apakah murni dari pendapat pribadi masyarakat ataukah ada pihak lain yang mengkonstruksi pikiran rakyat Indonesia. Pembahasan akan difokuskan pada persepsi cantik menurut masyarakat Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan industrialisasi, globalisasi dan nilai ekonomi produk-produk kecantikan.

PEMBAHASAN

            Kecantikan memiliki makna sosial bagi individu. Mendalamnya dan meningkatnya makna sosial atas kecantikan pada umumnya, serta wajah pada khususnya, dapat dilihat dengan nyata di bidang ekonomi. Di Amerika Serikat, penjualan alat-alat kecantikan meningkat dari $ 40 juta pada tahun 1914 menjadi $18,5 milyar pada tahun 1990 (Raines dalam Synnot:2007). Peningkatan nilai ekonomi dari kosmetika serta alat-alat rias secara proporsional mungkin sama saja di Inggris dan Kanada. Namun, fenomena ini merepresentasikan hanya secuil industri kecantikan saja. (Synnot, 2007:116). Synnot mengatakan bahwa pemaknaan sosial terhadap term atau kata kecantikan menjadi satu ladang bisnis yang tinggi pada penjualan alat-alat kecantikan. Tidak hanya penjualannya saja yang tinggi tapi juga nilai ekonominya juga tinggi. Alat-alat kecantikan dijual dengan harga relatif mahal, tetap diburu oleh para pecandu kecantikan fisik.

            Para produsen alat-alat kecantikan mempunyai teknik pemasaran yang sistematis dengan memanfaatkan media massa. Media massa merupakan alat promosi yang ampuh dalam promosi kebudayaan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Granovetter “the mass media constitute the institutional subsystem of the cultural industry. The diffussion of particular fads and fashions is either blocked or facilitated at this strategic check point. Cultural innovations are seen as originating in the technical subsystem”. (Granovetter : 370)

            Selain iklan, media massa juga menampilkan tayangan infotainment yang menampilkan keseharian artis sebagai tokoh publik. Artis selalu menampilkan yang indah-indah dan kecantikan dirinya sebagai bagian yang terekam di media. Tayangan infotainment ini, yang menyorot sisi pribadi public figure, orang-orang populer, selebritas, hanya berbekal dengan satu-dua pertanyaan. Selebihnya imaji penonton akan diseret oleh citraan yang sudah melekat pada popularitas artis tersebut. (Wirudono, 2006:44).

            Ambil contoh adalah artis Syahrini. Seringkali tayangan infotainment menayangkan gaya hidup syahrini yang glamor dan make up ala syahrini. Seperti bulu mata anti badai, jambul khatulistiwa dan make up yang selalu menghiasi wajah Syahrini. Tayangan infotainment yang menayangkan kehidupan glamor artis mau tidak mau pasti mempengaruhi hasrat penontonnya untuk memiliki kecantikan yang setara dengan yang dimiliki artis. Maka, pelaku industri kecantikan memasang jaring promosi dengan menampilkan artis-artis muda dan berbakat untuk menjadi brand ambassadornya. Seperti Tasya untuk iklan Garnier, Shireen Sungkar untuk iklan produk fair and lovely, Dewi Sandra untuk Wardah dan lain sebagainya.

            Padahal jika dirunut menggunakan akal sehat, para artis yang menjadi brand ambassador produk kecantikan sudah cantik sejak awalnya. Sebelum menjadi bintang iklan mereka sudah cantik. Tapi, dengan adanya iklan penonton seolah dibius bahwa dengan memakai produk kecantikan yang diiklankan oleh artis, para penonton bisa mendapatkan kecantikan, ketenaran dan kemampuan seperti yang dimiliki sang artis. Hal inilah yang dimaksud Baudrillard dengan kecantikan fungsional. Bagi wanita, kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi pengaruh dari alam, juga bukan pula kualitas moral sampingan, tetapi kualitas mendasar, wajib dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingan sebagai jiwanya. (Baudrillard, 2004) 

            Kecantikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan mengundang hiperealitas. Misalnya iklan sabun, dengan memakai sabun yang diiklankan para model dan bintang tiba-tiba bisa menjadi putih dan cantik. Padahal, jika diaplikasikan sendiri di rumah, efek sabun tersebut tidak sehebat itu. Bahkan jika digosok-gosokkan seribu kalipun tidak akan membuat kulit kita seputih sang bintang iklan. Hal ini karena bintang iklan yang membintangi iklan biasanya didominasi oleh artis yang mempunyai kulit putih sejak lahir karena mempunyai orang tua yang berasal dari luar negeri. Tentu, produk kecantikan yang ditawarkan kurang berdampak terhadap masyarakat Indonesa yang mempunyai genetik kulit sawo matang. 

            Putih sebagai ukuran kecantikan seorang wanita tentu merupakan suatu konstruksi yang dibangun oleh industri media massa. Padahal, jika dperhatikan banyak wisatawan yang berkunjung ke pantai-pantai di Indonesia untuk berjemur dan mendapatkan kulit yang coklat. Konstruksi pikiran orang Barat dengan ras kaukasoid beranggapan bahwa coklat itu cantik dan eksotis. Sedangkan kita yang memiliki kulit coklat sawo matang berlomba-lomba untuk menjadi putih karena konstruksi pikiran kita sudah seperti itu. hal itu tentu membuat kita mengkonsumsi produk kecantikan secara masal dan menguntungkan industri kosmetik.

Selain artis dan media massa yang memberikan definisi cantik yang diamini oleh masyarakat, media bermain yang dipakai oleh anak-anak juga berpengaruh. Anak perempuan sering sekali bermain peran (role playing) dengan boneka yang dia miliki. Industri dan globalisasi telah menjadikan barbie sebagai boneka yang digemari oleh anak perempuan dimana saja. Menurut Carole Spitzack dalam Rogers (1990), boneka adalah wakil sekaligus pengganti tubuh manusia. ia mengatakan apa yang sering kali justru diabaikan orang.”boneka dan perempuan saling menyombongkan satu sama lain”. Tidak hanya boneka fashion seperti barbie yang menyimbolkan sosok perempuan yang diidealkan oleh sebuah kebudayaan, perempuan seringkali juga menjadikan dirinya versi hidup citra ideal yang direpresentasikan oleh sebuah boneka. (Rogers, 1999:157). Maka tak heran ketika ada sebagian wanita yang mempermak tubuhnya untuk tampil layaknya seorang barbie. 

KESIMPULAN

            Industri kosmetika di Indonesia supaya bisa berkembang dengan baik dan mendapatkan pasaran yang luas, mereka membentuk konstruksi masyarakat bahwa seorang wanta harus cantik. Cantik didefinisikan sesuai dengan spesifikasi produk yang ingin dipasarkan. Cantik itu harus putih, tinggi langsing dan sebagainya. Ketidakpuasan akan kondisi fisik tubuh akan membuat orang mengkonsumsi produk kecantikan. Selain itu peran media massa dan artis turut mempercepat masyarakat mengkonsumsi produk kecantikan. Internalisasi nilai-nilai bahwa wanita harus cantik, digambarkan dengan boneka barbie yang telah menjadi mainan anak sejak kecil. Barbie menjadi contoh ampuh dan figur wanita ideal yang cantik, lincah dan feminim.

DAFTAR PUSTAKA
Synnot, Anthony. 2007. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Jogjakarta: Jogjakarta
Granovetter, Mark dan Richard Swedberg. Tanpa tahun. The Sociology of Economic Life: Westview Press
Wirudono, Sunardian. 2006. Matikan TV-mu. Teror Media TV di Indonesia. Magelang: Resist Book
Rogers, Mari F. 1999. Barbie Culture:ikon Budaya Konsumerisme. London: Sage Publications
Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Jogjakarta: Kreasi Wacana


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial