Kamis, 17 September 2015

Harga Cinta Tanah Beta



Harga Cinta Tanah Beta
Oleh : Nuryanti

Berbicara mengenai Pramudya Ananta Toer memang akan membuat sebuah diskursus yang seru. Mengingat dia adalah orang yang menjadi legenda bagi angkatan sezamannya. Dia adalah orang yang berbeda, dengan pengalaman yang berbeda dan garis hidup yang berbeda dengan pengarang-pengarang lain. Bandingkan dengan pengarang yang diizini pemerintah, Buya Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat K Miharja, dan kawan kawan. tentu akan sangat berbeda sekali.

Jika kita menengok catatan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan-catatan yang dibuat Pram di dalam pembuangannya di pulau Buru. Dia menjadi salah satu pembaharu di pulau yang tiada mengenal kehidupan. Ia dan kawan-kawan menjadi tahanan politik yang mengemban amanah membuka satu pulau diantara tiga belas ribuan pulau di Indonesia menuju tahap yang lebih modern. Mengemban amanah membuka pulau, Ya, begitulah bahasa halusnya. Sedangkan bahasa kasarnya menjadi sapi perahan pemerintah, diperah tenaganya untuk menghidupi diri dan komandan dengan cara yang tidak efisien.

Padahal Pram bersama dengan tahanan politik lainnya, adalah kaum cerdik cendikia yang bisa lebih diberdayakan dalam memberikan sumbangsih untuk negara republik ini. Tentu sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan di bidang  keahlian masing-masing. Jika seandainya, pram dan para tapol lain yang berpendidikan dan melek literasi ini bisa berkiprah secara luas dalam masyarakat, mungkin kondisi Indonesia bisa lebih baik lagi.

Di pulau Buru, dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, para tapol harus bisa mengolah tanah untuk kehidupan dengan cara seadanya, jika pihak keamanan tidak memberikan alat, jadilah tangan yang menggemburkan tanah. Jika pihak keamanan berbaik hati memberikan alat pertanian itu akan menjadikan rasa syukur mereka berlipat. Tidak hanya bidang pertanian saja yang digarap, mereka juga membangun jalan dengan menerabas hutan, memancing, beternak ayam dan sapi.
 
Kesempatan untuk membaca dan memperluas cakrawala ilmu menjadi barang yang mustahil bagi para tapol disini. Pram bisa menulis pun itu karena sorotan dunia internasional. Belum lagi dengan pengawasan dan razia buku yang senantiasa membayangi. Jika sampai dalam penggeledahan petugas menemukan kertas tulisan yang dianggapnya mencurigakan, mereka tak segan untuk melumatnya, membakarnya hingga kembali ke tanah.

 Pulau Buru yang dikelilingi oleh laut dan gunung, menjadi tempat yang pas dan spesial untuk para tahanan politik. Tempat yang sulit untuk berkelit dan melarikan diri. Mengolah lahan harus dilakukan jika masih ingin bernafas dan merasakan hawa segar mentari pagi. Banyak intrik yang disampaikan dalam buku tersebut. bagaimana para tapol menghimpun diri dan berencana untuk kabur, hingga akhirnya gagal. Bagaimana kelakuan komandan yang menjadi titisan pemerintah dan menjadi orang nomor satu di kompleks blok tahanan. Pram dengan jelas menggambarkan mereka minta penghidupan dari tapol, main perempuan hingga judi. Semua modal para komandan dapatkan dari para tapol.

Harga Sebuah Pilihan

Harga sebuah pilihan semahal itu ternyata. Pramudya bisa berada di Pulau Buru tak lain tak bukan karena tuduhan yang tidak jelas. Dia  terdaftar sebagai anggota kehormatan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) salah satu lembaga underbow PKI. Lazim kita ketahui, pada masa Soeharto PKI menjadi partai terlarang dan para anggota partai mendapatkan hukuman yang dahsyat. Pram berusaha membela diri dalam tulisannya bahwa ia hanyalah anggota kehormatan, dia tidak pernah belajar berorganisasi ataupun membela ideologi tertentu. Anggota kehormatan ialah bentuk penghormatan orang terhadap kualitas seorang Pramudya Ananta Toer. Sayangnya, para kaum dominan begitu bebalnya dan hanya melihat apa yang nampak. Yah, bebal ya. 

Dan lagi, Pram adalah manusia yang konsisten. Betapa pilihannya untuk mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu menghunjam jiwanya. Lebih dari empat belas tahun dia keluar masuk penjara, pernah pula dikenai tahanan rumah. Namun, dia hanya bisa mengeluh dan protes lewat tulisan, yang mengabadi dan menjadi cermin pengingat bagi generasi muda. Dia tak pernah sama sekali berkeinginan untuk subversif, untuk mengakomodir orang untuk melawan pemerintah. Betapa dia menghargai proses hukum yang menimpanya. Meskipun batinpun meronta, karena tak jelas apa tuntutan dan tak tahu apa salahnya.

Tentu sangat sulit, untuk menerima penganiayaan terhadap harga diri menjadi seorang tahanan, tanpa bisa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan yang adil dan wajar. Betapa rasa cinta tanah air bagi Pram bisa mengalahkan segala derita. Jika Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, namun pemasungan terhadap kebebasan individu pram sebagai seorang pribadi makin menjadi-jadi. Kesulitan hidup akibat penjajahan Belanda dan Jepang, belum lah berakhir. 

Kebebasan hanya Fatamorgana

 Jika kita membaca dan menghayati buku catatan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terdiri atas 2 jilid, tentu kita akan menemukan biodata penggores pena, mbah Pram. Kita akan dibuat tercengang dengan biodata yang khas dan berbeda dengan yang sering kita temui. Jika orang pada umumnya  menampilkan riwayat pendidikan dalam biodata, Pram menampilkan catatan pengalaman penahanannya. Mulai dari penjara Salemba, Pulau Nusa Kambangan, Pulau Buru, hingga Magelang/Banyumanik. Jika ditotal keseluruhan sekitar empat belas tahun pram menghabiskan usianya di tahanan. Menjadi orang yang terikat, bukan orang bebas.

Bayangkan, betapa rezim telah merenggut waktu seseorang yang berharga. Betapa, hanya demi nafsu dan melanggengkan kuasa, hak seorang individu tercerabut dari akarnya. Empat belas tahun adalah waktu yang amat panjang untuk bisa berkreasi dan turut membangun bangsa dengan keahliannya sebagai pengarang. Betapa masa-masa menjadi ayah terlewatkan begitu saja, tanpa bisa melihat anak yang mulai tumbuh dan berkembang. Tak bisa mendidik langsung, hanya menerima seuntaian surat tanpa bisa membalasnya. Rezim kuasa tak izinkan tahanan politik untuk mengirim surat. Jika ada paketan dari keluarga pun, banyak yang disunat oleh petugas. Banyak yang menguap di tengah jalan. Hanya serpihan-serpihan surat dari sang anak, yang kurang berharga dimata para petugas yang bisa lolos saringan petugas. 

Dengan waktu empat belas tahun, tentu bisa digunakan untuk membahagiakan istri tercinta. Dengan waktu sepuluh tahun, tentu Pram bisa keliling dunia yang kata Copernicus bulat ini. Dengan sepuluh tahun Pram bisa menggoreskan pena, dengan keahliannya sebagai pengarang, menjadi salah satu penulis hebat Indonesia. 

Dengan usia hidup Pram sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dia telah menginspirasi para pembacanya. Dia yang dalam masa hidupnya pernah tinggal sekolah, dia yang merasa bodoh. Namun, ia yang terus berusaha untuk belajar. Dia yang paling tua dalam kelas angkatannya di sekolah Taman Siswa di Blora, tapi tak pernah dihinggapi rasa malu. Sepatutnya kita sebagai generasi muda merasa malu dan berusaha untuk lebih baik dibanding Pram. 

Jika dulu Pram harus susah-susah mengetik dengan mesin tik yang besar dan tak bisa dihapus jika salah memencet tombol, kita telah dihadapkan dengan laptop, komputer dan gadget yang ringan dan multitasking. Tentu zaman telah merestui kita dan memberikan kemudahan, seperti halnya zaman tak memberi kesempatan bagi Pram untuk menjadi pribadi bebas seperti yang diharapkannya. 

Hasrat Pram menjadi manusia bebas, menjadi manusia yang tidak diperintah, tidak juga memerintah. Hasrat Pram ibarat doa, walau dia hanya menikmati kebebasan di usia senja, namun dia mewariskan kebebasan itu dalam masa kita. Masa demokrasi dimana kita bebas berekspresi. Lalu, kita sebagai generasi muda, apalagi yang kita minta dari Tuhan? Tugas kita adalah memaksimalkan potensi, menjadi pribadi yang unggul, kreatif dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Relatifnya Hukum dan Keadilan

            Hukum harusnya menjadi pilar bagi negara yang sudah merdeka seperti di Indonesia. Namun, masih seperti hari ini, hukum tumpul ke atas dan lancip ke bawah. Malah, bila beberapa dekade yang lalu, di masa Pram menuliskan pengalamannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu gap hukum lebih lebar dibanding sekarang. Dimana saat Pram melalui masa-masa penahanannya di Pulau Buru, hak-hak sipil dilucuti dari para tahanan politik. Asas praduga tak bersalah masih jauh panggang dari api. Tak ada itu. Asas itu menjadi simbolisasi produk hukum yang masih pandang bulu. 

            Namun, tak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh besar menuliskan gagasan cemerlangnya dalam tahanan. Misal Hitler, menulis Mein Kampf dalam penjara. Mahatma Gandhi, sang pembaharu India, mencetuskan swadesi dari balik jeruji tahanan. Pram membuat masterpiecenya, tetralogi Buru yang membahas tentang periode kebangkitan Indonesia dengan sangat apiknya di pulau Buru sebagai pusat bagi tahanan politik. Meskipun begitu, kebebasan adalah hak tiap individu yang tidak bisa diganggu gugat. Harusnya. 

            Terkadang keadaan yang terjepit dan sengsara dalam tahanan bisa membuat perubahan signifikan dalam intensitas berkarya. Namun, itu bukanlah alasan untuk menahan seseorang tanpa alasan yang jelas dan rasional. Seperti halnya dengan burung, walaupun dia diberi sangkar emas, jika habitatnya adalah alam bebas, tentu lebih bahagia hatinya bila diberi kebebasan. Apalagi manusia? Yang punya otak dan nafsu sekaligus.

            Berbahagialah kita yang tak pernah merasakan sengsaranya mengangkat senjata. Berbahagialah kita menjadi putra zaman abad 21, yang seumur-umur tidak pernah melihat pertempuran melawan Belanda, Jepang, Tanam Paksa, dan Kerja paksa. Berbahagialah kita dengan syarat menginsyafi sejarah, tetap membacanya, menggali esensinya. Niscaya kita akan menemukan para patriot yang mencintai negaranya, yang mencintai anak cucu dan generasi mendatang, lebih daripada mencintai diri sendiri. Pram, dia mencintai tanah airnya, dengan caranya. Demikian pula kita.

Biodata           :
Nama               : Nuryanti
Universitas      : Sebelas Maret Surakarta
No. Hp              : 0857 9095 4045

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial