Selasa, 30 Mei 2017

Sowan ke Pak Redy (Achdiar Redy Setiawan)


Di Madura, saya bercakap-cakap dengan adik kelas yang kuliah akuntansi di UTM. Ada dua orang, Febri dan Rizki. Mereka menceritakan dosen yang paling mengesankan bagi mereka. Mereka kompak membahas tentang Pak Redy. Dosen yang eksentrik begitu simpulan saya.

Karena saya orang luar kampus UTM, saya penasaran dengan Pak Redy. Saya mencoba mencari nama lengkapnya di web jurusan, lalu mencari fb nya. Lha dilalah, kok langsung bertemu dengan akun facebooknya. Yang lebih mengejutkan ternyata beliau berteman dengan Gus Fatkur, guru ngajiku di ma’had Fatawiyah Sumberagung, Tulung, Saradan Madiun. Mereka sama-sama mengambil studi di Universitas Brawijaya Malang.

Betapa sempit dunia ini. Kami(aku dan teman-teman UTM) menyambung silaturahmi kepada teman guru kami, sedangkan Pak Redy mengenalku sebagai kakak kelas yang sambang adiknya ke Madura.


Lalu, saya chat Pak Redy. Memperkenalkan diri dengan sopan dan mencari peluang kemungkinan untuk menyusup di kelas beliau. Motifku hanya satu, ingin menggali ilmu dari orang yang sangat eksentrik. Kok alhamdulillah sambutan beliau sangat hangat dan ramah dan menawarkan kesempatan sowan ke rumah beliau.

Kurang eksentrik bagaimana? Pak Redy sebagai dosen memiliki rambut panjang sebahu, terkadang ke kampus dengan menggunakan udeng/blankon dan mengenakan sarung. Febri tatkala mengambil mata kuliah sosiologi kritis, disuruh untuk mendatangi kota yang belum dikunjungi, tanpa identitas apapun dari UTM, disana mahasiswanya harus bisa mengamati kehidupan warga dan bisa bersosialisasi dengan warga.

Bagiku itu tugas yang menantang dan menyenangkan menghadapi tantangan yang kita tidak tahu akan seperti apa jadinya. Ada yang mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat, ada yang diusir dari kampung karena dicurigai akan mengganggu ketenteraman dan banyak cerita. Yang pasti mahasiswanya jadi kaya pengalaman.

Pak Redy memberikan waktu longgar hari Selasa malam tanggal 23 Mei 2017. Saya ijin kesana malam hari, rumahnya di perumahan yang dekat dengan kampus. Teman-teman oke-oke aja aku ajak kesana.

Akhirnya yang kesana, aku, Febri, Sholikin dan Rizki. Teman-teman yang lain masih banyak agenda. Disana pak Redy menceritakan kenapa beliau kadang ke kampus memakai sarung? Karena sarung adalah budaya bangsa. Kenapa pakai udeng? Sebagai penutup kepala yang khas Indonesia. Kenapa berambut gondrong? Karena banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad rambutnya juga sebahu.

Intinya, setiap apapun yang kita lakukan, harus didasarkan pada nilai yang luhur. Apapun itu. Bagiku, walaupun secara penampilan bapaknya eksentrik luar biasa untuk profesi dosen, namun beliau adalah role model yang bagus untuk pendidikan karakter.

Beliau sering bilang bahwa beliau murtad dari akuntansi, murtad dalam artian beliau tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat angka yang  statis dan membosankan. Beliau menyukai ilmu-ilmu yang dinamis, di rak-rak bukunya, sangat banyak buku sosial. Aku saja yang mahasiswa sosiologi belum punya bukunya Clifford Geertz, beliau malah memilikinya.

Program penelitian beliau adalah membuat buku kumpulan penelitian dengan tema akuntansi garam, pendekatan akuntansi dan ilmu sosial untuk melihat fenomena yang terjadi di daerah lokal Madura dan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

Hal yang diinginkan adalah melihat seperti apa metode bertahan petani garam terhadap tengkulak, harga yang tidak pasti, cuaca yang tidak pasti, pengeluaran cost production dan sebagainya yang bisa dikaji dengan penelitian wawancara mendalam dan field note tentunya.

Beliau menuturkan pasti mereka tidak membuat pembukuan yang berupa debit kredit, buku besar, buku kas harian dan sebagainya. Kalau ada pasti minim, namun semua perencanaan keuangan mereka simpan di otak, dan mereka ingin melihat kearifan lokal tersebut sebagai suatu kajian ilmiah. Menarik dan membumi ya?

Aku jadi sadar dengan skripsiku yang sudah ujian, penelitian kuantitatif yang berupa angka-angka, dengan harapan bisa lulus tepat waktu, tanpa ada kedalaman terhadap subjek yang kuteliti. Sampai sini aku kadang merasa kerdil dibandingkan dengan teman-teman akuntansi UTM yang bersemangat membuat skripsi dengan pendekatan kualitatif.
Namun, dari pertemuan dengan Pak Redy aku jadi lebih semangat dalam menuntut ilmu. Melawan rasa malas dan apatis sehingga bisa lebih memikirkan tiap hal yang aku lakukan tiap hari-harinya.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kelompok Sosial